Tidak lama berselang setelah dilantik Presiden, Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, langsung membuat gebrakan. Dana sebesar 200 Triliun Rupiah dari SAL yang selama ini tersimpan di kas Bank Indonesia digelontorkan pada bank-bank yang tergabung dalam Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Bank BRI, Mandiri dan BNI masing-masing mendapat jatah 55 Triliun Rupiah, Bank BTN sebesar 25 Triliun Rupiah dan BSI 10 Triliun Rupiah.
Dana ini dimaksudkan untuk menambah likuiditas bank-bank tersebut guna disalurkan sebagai kredit, khususnya untuk sektor produktif, termasuk UMKM yang ada di tengah masyarakat. Diharapkan kredit ini dapat menggenjot sektor riil sehingga ikut menunjang pertumbuhan ekonomi negara.
Menteri Purbaya memang terlihat memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda dibanding Sri Mulyani, Menkeu sebelumnya. Kompasianer Merza Gamal sudah pernah membahasnya dengan apik pada artikelnya yang bertajuk "Kepergian Sri Mulyani dan Haluan Berganti menjadi Soemitronomics?". Gelontoran dana Rp200 T ini bisa dikatakan salah satu manuver yang cukup berani. Alih-alih menggunakan dana tersebut untuk hal yang lebih urgent, misalnya membantu pembayaran utang negara, dia justru memilih menyalurkan dana tersebut untuk "menggairahkan" perekonomian masyarakat. Pendekatannya cukup berbeda dengan Sri Mulyani yang biasanya lebih prudent dengan keputusan-keputusan moneternya. Tapi bagaimanapun juga Menteri Purbaya pasti sudah punya perhitungan dan analisis sendiri sebelum mengambil keputusan tersebut.
Pertanyaannya adalah seberapa efektif dampak keputusan ini bagi perekonomian kita? dan apakah terobosan ini menjadi peluang atau justru ancaman bagi bank-bank penerimanya?Â
Mari kita simak terlebih dahulu ketentuan-ketentuan yang diberikan pemerintah bagi bank penerima. Dari pemberitaan diketahui pemerintah menetapkan kontrak 6 bulan pengembalian (dan bisa diperpanjang). Tapi ada juga opsi deposito on call, jadi bisa juga diminta kembali sewaktu-waktu jika pemerintah benar-benar membutuhkan dana, dengan pemberitahuan sebelumnya. Kemudian suku bunga yang diberikan kepada bank penerima sebesar 4% p.a. Rate ini sebenarnya sangat menguntungkan perbankan karena rate pinjaman bank yang dilepas ke masyarakat saat ini berkisar pada 8%-13 % p.a (di luar KPR)
Tapi bisa terjadi dibanding repot-repot menyalurkan kredit ke masyarakat, perbankan lebih memilih menggunakan uang tersebut untuk penempatan pada instrumen investasi dengan bunga yang lebih tinggi. Oleh karena itu sejak awal pemerintah menegaskan gelontoran dana ini tidak boleh digunakan untuk membeli SBN karena dengan demikian uang tidak berputar secara langsung di masyarakat
PeluangÂ
Melihat suku bunga yang diberikan oleh pemerintah, sebenarnya ini bisa menjadi peluang bagi bank penerima. Jika mengamati data-data, saat ini LDR (Loan to Deposit Ratio) bank-bank BUMN berada pada kisaran 87% sampai 94%. Idealnya LDR ini berada pada kisaran 70%-80%. Jadi dengan tambahan likuiditas, masih sangat aman untuk bisnis perbankan.
Apalagi bunga yang dibebankan dari pemerintah juga cukup terjangkau. Jika pinjaman ini bisa disalurkan dengan baik dan benar, perbankan memiliki peluang untuk menambah pendapatan usaha dari bunga pinjaman yang disalurkan ke masyarakat.
Ancaman
Sekalipun menjadi kesempatan meningkatkan pendapatan, tetap saja ada tantangan yang bisa jadi ancaman, jika dana tersebut tidak terserap dengan baik di masyarakat. Yang terjadi justru pendapatan akan tergerus, karena bank memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana tersebut beserta bunganya ke pemerintah. Sementara itu bank tidak bisa memutar dana tersebut pada skema investasi yang lain, seperti membeli Surat Berharga Negara, misalnya.
Maka bisa saja yang terjadi adalah pemberian kredit oleh petugas-petugas kredit akan berjalan "jor-joran" karena mereka memiliki target penjualan kredit yang tinggi. Hal ini membuat risiko terjadinya NPL pun meningkat.