Seandainya saja
kata-kata
yang kaya metafora
dan berdetak mengikuti rima
bisa kuubah menjadi
biru
merah
kuning
violet
dan warna-warni penuh imaji
aku sudah
menggunakannya untuk melukis telur-telur paskah
sebelum kuhadiahkan untukmu.
Apakah telur paskah bisa dilukis dengan puisi?
tanyamu suatu hari
di antara senja yang merona malu-malu.
Sejak hari itu aku mencoba melakukannya
mencoba melukis kulit telur yang rapuh
dengan puisi demi puisi.
Puisi tentang laut yang terbelah
tentang sakitnya duri pengkhianatan
tentang perselingkuhan agama dan politik
tentang berkas cahaya yang tidak pernah lelah pada kegelapan
tentang manusia dan kemanusiaan yang rapuh.
tentang penebusan dosa
tentang kebangkitan.
....dan aku selalu gagal.
Hari ini
kamu menerima bingkisan telur-telur paskah yang polos tanpa lukisan.
Tapi kamu tetap tersenyum
tidak peduli rasa bersalah sedang mendera kepalaku.
Jangan sedih, katamu
tidak apa kalau memang tidak bisa.
Lihatlah, walau gagal pada telur paskah ini
puisi-puisimu sudah berhasil memberi warna
pada paskah kita kali ini.
Aku tertegun membenarkan.
Jadi bagaimana nasib telur-telur paskah ini? tanyaku
Ya, kita jadikan makan malam saja, bagaimana?
sahutmu
di antara senja yang sudah menemukan keberaniannya.
---
barombong, hari raya paskah 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI