Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cita-cita Jadi Atlet, Sudah Siapkah Kita dengan Tantangannya?

4 Agustus 2021   20:09 Diperbarui: 4 Agustus 2021   20:14 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi badminton dari pixabay.com

Kemenangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu pada laga puncak bulutangkis ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 melahirkan banyak kisah. Setelah berhasil mempertahankan tradisi emas Indonesia, keduanya diganjar begitu banyak hadiah dan penghargaan. Mulai dari hadiah berupa uang sampai aset dari berbagai pihak yang mencapai miliaran rupiah nilainya.

Ini bukan lagi hal yang mengejutkan. Setelah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional, patutlah mereka diganjar penghargaan tertinggi.

Setelah terkagum-kagum dengan daftar hadiah untuk mereka, saya dan beberapa teman kantor pun ngobrol tentang betapa beruntungnya Greysia dan Apriyani. Pembicaraan kami lalu berujung kepada niat untuk menyuruh anak-anak (yang rata-rata masih SD) menjadi atlet bulutangkis juga.

Tapi motivasi utamanya bukan prestasi. Itu nomor dua. Nomor satunya itu ya biar bisa dapat hadiah miliaran. Hehe... Dasar orang tua matre ya kami ini.

Tapi sepertinya kami tidak sendiri. Saya yakin di antara pembaca sekalian, juga ada yang berpikiran kurang lebih seperti itu.

Saat memandang wajah bocah kesayangan yang polos dan imut di rumah, kita juga mulai membayangkan bagaimana jika pilihan hidup sebagai atlet ada di antara sekian alternatif cita-cita yang dimilikinya?

Bukankah atlet juga punya masa depan gemilang jika ditekuni secara total?

Nah, di sinilah point utama tulisan ini. Yang terjadi seringkali kita hanya fokus pada frase "masa dengan gemilang saja". Padahal frase ini harus seiring sejalan dengan frase berikutnya, yaitu "ditekuni dengan total".

Kita terpicu dengan hanya melihat "gemilang" yang tampil di layar kaca. Entah itu saat laga, euforia kemenangan, atau sisi manis kehidupan para atlet.

Padahal kesuksesan para atlet itu mirip fenomena gunung es. Puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air adalah yang kita lihat sebagai sesuatu yang gemilang. Sementara di bawah permukaan air, ada bagian gunung es yang jauh lebih besar dari yang nampak di permukaan. Ya, bagian itulah perjuangan yang harus ditekuni dengan total.

Latihan puluhan jam seminggu bertahun-tahun lamanya, sisi lain kehidupan yang harus dikorbankan demi fokus kepada prestasi, risiko kesehatan saat latihan (maupun tanding),  belum lagi hal-hal non teknis yang seringkali harus dihadapi para atlet. Misalnya: cemoohan penonton atau lawan, pertandingan yang kurang fair, penolakan, intrik di tengah kompetisi, minim dukungan dari pemangku kepentingan dan sekian masalah lainnya.

Dibutuhkan persistensi, konsistensi bahkan pengorbanan yang besar untuk melewati semua tantangan tersebut.

Nah, ini yang kemudian melahirkan pertanyaan reflektif bagi kita sekalian. Jika bercita-cita menjadi atlet atau memiliki keinginan anak bercita-cita menjadi atlet, sudah siapkan kita dengan tantangan tersebut?

Sebagai contoh, orang tua Greysia sampai mengambil keputusan untuk pindah dari Manado ke Jakarta demi mendukung prestasi Greysia kecil, yang bakatnya sudah terlihat sejak usia 5 tahun.

Memang, dibutuhkan para orang tua yang rela berkorban dan siap menjawab tantangan-tantangan besar untuk melahirkan atlet-atlet gemilang berikutnya. (PG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun