Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lomba 17-an via Dunia Maya, Mengapa Tidak?

3 Agustus 2020   18:39 Diperbarui: 3 Agustus 2020   19:02 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi lomba panjat pinang. Gambar dari lifestyle.kompas.com

Bagaimana ya nasib lomba-lomba yang biasa dihelat di tengah-tengah masyarakat untuk meramaikan HUT Proklamasi ke-17 nanti?

Dalam keadaan normal, pertanyaan di atas tidak perlu diungkapkan. Tapi kita sama-sama tahu bagaimana keadaan bangsa kita saat ini. Pada awal Agustus, jumlah korban Covid-19 terus meningkat. Hari ini (3/8) jumlah kasus Covid-19 bertambah 1.679 orang sehingga akumulasi kasus telah mencapai 113.134 orang (kompas.com). Beberapa hari terakhir penambahannya selalu di atas 1.000 kasus per hari, bahkan beberapa kali di atas 2.000.

Dengan terus meningkatnya jumlah kasus, walaupun sejumlah daerah sudah membuka kembali kegiatan-kegiatan perekonomiannya, physical distancing dan social distancing masih menjadi isu sentral yang wajib dijalankan bersama. Sejumlah daerah malah kembali memberlakukan status PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Memang, ini pilihan masuk akal untuk menekan laju transmisi virus Corona.

Untuk kegiatan-kegiatan kolektif yang lebih mudah dikelola seperti misalnya pertemuan resmi atau peribadatan, mungkin panitia kegiatan masih bisa mengontrol peserta dengan memberlakukan protokol kesehatan seperti jaga jarak, menjaga kebersihan dan menggunakan alat-alat pelindung diri yang sesuai.

Tapi penerapan tetek bengek protokol kesehatan untuk event rakyat yang lebih masif dan longgar seperti lomba-lomba khas 17-an: lomba panjat pinang, makan kerupuk, lomba lari karung dan lain-lain pasti akan jauh lebih sulit. Peserta lombanya mungkin masih bisa diatur-atur, tapi apa iya para penonton dan pendukung juga bisa diarahkan dengan mudah?

Jangankan untuk kegiatan yang rentan transmisi virus seperti itu, untuk keadaan sehari-hari saja imbauan untuk jaga jarak dan pakai masker saja masih banyak yang mengabaikan. Bagaimana untuk lomba yang wajib heboh dan ramai?

Ya, ada pemikiran lain. Bagaimana kalau hanya peserta lomba yang hadir dan berkompetisi on the spot lalu lombanya disiarkan secara live? Para penonton cukup duduk manis di rumah masing-masing dan memberi dukungan berupa teriakan atau yel-yel di depan gawai masing-masing. Ini salah satu contoh solusi. Tapi saya yakin pasti banyak yang protes. Di mana keseruan lombanya? Ini kan panjat pinang, Bung, bukan MotoGP!

Tapi untuk tetap menyelenggarakan lomba seperti biasa juga punya risiko sendiri. Pemerintah daerah di segala tingkat pengambilan keputusan pasti akan sangat hati-hati menyetujui penyelenggaraan lomba-lomba tahun ini. 

Lalu apa kita lantas berkecil hati?

Tentu saja kita tidak boleh berkecil hati dan berhenti berpikir. Tidak bisa mengadakan lomba di dunia nyata, ya ajang lombanya kita pindahkan ke dunia maya. Banyak kok alternatif lomba-lomba yang cocok dihelat di dunia maya. Peserta diadu via dunia maya, para penonton juga bisa meramaikan via dunia maya.

Ini beberapa contoh lombanya:

Lomba TikTok mengucapkan Selamat Hari Proklamasi, misalnya. Kriteria penilaiannya silakan diatur dengan baik oleh panitia. Pemenangnya bisa jadi yang paling heboh, yang paling kreatif, paling banyak engagement-nya atau kombinasi dari variabel-variabel tersebut.

Lomba fotografi dengan konten dekorasi lingkungan ala 17 Agustus dan dilombakan antara RT atau RW, bisa juga. Foto yang dikompetisikan ini diunggah ke akun media sosial peserta.   

Untuk lomba yang bertema seni bisa berupa lomba karaoke dengan lagu-lagu bernuansa kebangsaan, lomba kreasi lagu daerah dan lain-lain.

Biar penilaian lebih fair, panitia bisa menggunakan tenaga juri yang dianggap kompeten dari luar desa/kelurahan yang sedang melangsungkan lomba.

Kalau mau yang sedikit lebih menantang, bisa juga lombanya dilakukan secara live streaming, tapi lomba sejenis ini butuh pengorganisasian yang lebih kompleks (juga kuota internet yang memadai). Misalnya, lomba masak nasi goreng yang pesertanya bapak-bapak (mau pakai daster, silakan) lewat aplikasi zoom masing-masing dan panitia jadi host. Tapi karena lombanya live, durasi masaknya dibatasi dan penilaian bukan pada rasa masakan tapi pada cara penyajian, kreasi, kebersihan dan langkah-langkah memasak.

Atau mau lomba live lain yang juga tidak kalah seru, lomba merias istri sendiri (bukan istri tetangga ya) dengan mata tertutup dalam durasi waktu terbatas dan bahan-bahan make up ditentukan oleh dewan juri.

Bayangkan jika lomba-lomba live seperti ini disiarkan via Youtube, penontonnya bisa se-Indonesia Raya.

Bagaimana? Menarik, bukan? Ini baru beberapa contoh. Dengan memutar otak, kita bisa menemukan banyak alternatif lomba dunia maya dan cara penjuriannya.

Kesimpulannya, jika lomba tidak bisa dilaksanakan dengan mengumpulkan masyarakat (secara fisik), ada alternatif lomba via dunia maya agar selebrasi HUT Proklamasi tetap bisa kita langsungkan sekalipun kita sedang berada pada masa pembatasan sosial. (PG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun