Ini beberapa contoh lombanya:
Lomba TikTok mengucapkan Selamat Hari Proklamasi, misalnya. Kriteria penilaiannya silakan diatur dengan baik oleh panitia. Pemenangnya bisa jadi yang paling heboh, yang paling kreatif, paling banyak engagement-nya atau kombinasi dari variabel-variabel tersebut.
Lomba fotografi dengan konten dekorasi lingkungan ala 17 Agustus dan dilombakan antara RT atau RW, bisa juga. Foto yang dikompetisikan ini diunggah ke akun media sosial peserta. Â Â
Untuk lomba yang bertema seni bisa berupa lomba karaoke dengan lagu-lagu bernuansa kebangsaan, lomba kreasi lagu daerah dan lain-lain.
Biar penilaian lebih fair, panitia bisa menggunakan tenaga juri yang dianggap kompeten dari luar desa/kelurahan yang sedang melangsungkan lomba.
Kalau mau yang sedikit lebih menantang, bisa juga lombanya dilakukan secara live streaming, tapi lomba sejenis ini butuh pengorganisasian yang lebih kompleks (juga kuota internet yang memadai). Misalnya, lomba masak nasi goreng yang pesertanya bapak-bapak (mau pakai daster, silakan) lewat aplikasi zoom masing-masing dan panitia jadi host. Tapi karena lombanya live, durasi masaknya dibatasi dan penilaian bukan pada rasa masakan tapi pada cara penyajian, kreasi, kebersihan dan langkah-langkah memasak.
Atau mau lomba live lain yang juga tidak kalah seru, lomba merias istri sendiri (bukan istri tetangga ya) dengan mata tertutup dalam durasi waktu terbatas dan bahan-bahan make up ditentukan oleh dewan juri.
Bayangkan jika lomba-lomba live seperti ini disiarkan via Youtube, penontonnya bisa se-Indonesia Raya.
Bagaimana? Menarik, bukan? Ini baru beberapa contoh. Dengan memutar otak, kita bisa menemukan banyak alternatif lomba dunia maya dan cara penjuriannya.
Kesimpulannya, jika lomba tidak bisa dilaksanakan dengan mengumpulkan masyarakat (secara fisik), ada alternatif lomba via dunia maya agar selebrasi HUT Proklamasi tetap bisa kita langsungkan sekalipun kita sedang berada pada masa pembatasan sosial. (PG)