Gugusan bintang yang indah menghiasi langit kota. Doren menatap malam yang semarak itu dengan sedih. Perasaan sedih berganti dengan perasaan haru, lalu putus asa dan campuran perasaan-perasaan lainnya.
Gadis berambut panjang itu sedang berdiri di tepi pagar pembatas jembatan. Tepat di bawahnya, belasan meter di bawahnya, terpampang sungai Rhein yang mengering karena kemarau panjang. Batu-batu kali raksasa menyembul di sana-sini. Sepertinya jika dia berhasil menjatuhkan diri, kecil kemungkinan dia akan terpisah dari kematian.
Tapi dia masih hendak menikmati malam ini, malam terakhirnya sepuasnya.
Seorang lelaki berlari dari seberang jalan melintasi jembatan yang lengang seperti kuburan dan berseru kepadanya.
"Doren! Jangan bodoh! Aku mencintaimu ..."
Doren mengangkat tangannya.
"Stop Andre! Jika kamu maju selangkah lagi aku akan memanjat pagar ini dan melompat ke sana," serunya dengan nada penuh emosi.
Andre berhenti tiba-tiba. "Please, Doren. Jangan seperti ini... Aku minta maaf atas perkataan bodohku tadi. Aku --"
"Terlambat, Dre. Keputusanku sudah bulat... Sampaikan sendiri permohonan maafmu pada anak malang ini."
Air mata Doren mengalir deras.
"Aku akan menikahimu, Doren! Segera!"
Doren tercekat. Dia seperti tidak percaya dengan pendengarannya. Padahal dua jam yang lalu, Andre mati-matian menyuruhnya menggugurkan janin hasil perbuatan terlarang mereka. Apa yang membuatnya berubah pikiran seketika?
"Kamu menikahiku karena aku akan bunuh diri atau ... kamu mencintaiku?" suaranya melunak.
"Karena keduanya, Doren."
"Kamu berjanji?"
"Tentu."
Andre menunggu reaksi Doren.Â
 "Apa aku sudah boleh mendekat?"Â
Doren mengangguk. Ini pertanda baik. Andre pun berlari ke arahnya. Dia terlalu bahagia sehingga tidak menyadari, sebuah mobil mercedes sedang melaju kencang menyeberangi jembatan. Suara panjang decitan ban yang beradu dengan aspal terdengar menggigit pendengaran. Doren berteriak histeris menyebut nama Andre. Mercedes hitam pekat itu hanya berhenti beberapa detik lalu kembali berlari kencang.
Doren berlari sambil mengedarkan padangannya dengan nanar, mencari dimana tubuh Andre tergeletak. Air matanya kembali mengalir deras.
"Andre?! Andre!"
"Sakit, bukan? Begitulah tadi perasaanku saat melihatmu berdiri di tepi pagar jembatan itu. Ingin mati saja rasanya."
Andre ternyata sedang berdiri di dekat tiang papan penunjuk jalan sambil tersenyum menggodanya. Doren terkejut, lalu menghela napas panjang sembari menjatuhkan lututnya di atas trotoar. "Aku pikir kamu sudah mati, Dre," ucapnya lirih.
"Aku harus tetap hidup untukmu ... juga untuk anak kita."
Doren tersenyum. Ini senyuman pertamanya hari ini.
"Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanyanya.
 Andre terdiam sejenak. "Entahlah. Aku hanya punya perasaan kuat, sesuatu yang buruk, sangat buruk, akan segera terjadi jika aku tidak segera menyusulmu."
Tak lama kemudian, keduanya larut di dalam pelukan. Pelukan yang dalam dan mesra.
Gugusan bintang perlahan-lahan tertutup awan mendung. Sepertinya hujan akan segera datang, hujan pertama di musim ini.Â
---Â