Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Event Cerita Mini] Pensil Warna

7 Juli 2019   21:13 Diperbarui: 7 Juli 2019   21:14 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari https://emptyeasel.com/

Ketika aku kecil, aku pernah memiliki pengalaman ajaib dengan pensil warna. Sebelumnya aku beritahukan dulu kesenanganku. Aku gemar mewarnai dengan pensil warna. Aku sangat senang memandang warna merah, hijau, biru dan warna-warna lainnya berkumpul bersama membentuk aneka corak dan pola. Jemari mungilku sangat fasih menorehkan warna-warni dari pensil warnaku ke atas kertas buku gambar. Malah saat buku gambar tidak bisa lagi menampung kesukaanku itu, torehan warna-warni pun berpindah ke lantai, kayu tempat tidur, dinding ruang tamu bahkan kain keset.

Saat itu aku berusia lima atau enam, tapi aku masih ingat persis dinding ruang tamu rumah kami setinggi jangkauan tanganku selalu penuh dengan aneka gambar yang dihasilkan pensil warnaku.

Mama sudah sering marah akibat ulah tersebut. Tentu aku tidak mengerti saat itu. Aku hanya merasa bersalah setiap kali Mama mendapatiku menorehkan satu dua garis, membentuk rumah panggung atau orang-orangan sawah, lalu terdengarlah omelan khasnya, sesekali diikuti dengan cubitan pada tanganku. Tapi di lain waktu saat rumah sedang sepi, mungkin saat itu Mama sedang asyik di dapur, mataku kembali berbinar-binar gembira jika di tanganku ada pensil warna dan dihadapanku ada dinding putih bersih.

Suatu hari Mama memarahiku seperti biasa. Ah, tidak seperti biasa. Kali ini Mama marah besar. Omelannya diikuti oleh pukulan rotan bertubi-tubi pada tanganku. Tangan kecilku memerah, aku kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Kejadian itu terjadi setelah aku menggambar rumah setinggi perutku di dinding ruang tamu. Saat itu Papa baru saja mengecat ulang dinding ruang tamu dengan warna kesukaanku, putih. Putih adalah kesenangan, karena putih berarti akan ada banyak warna lain lagi yang bisa ditorehkan di atasnya.

Mama menyuruhku berjanji untuk tidak berbuat ulah lagi.

"Janji tidak mencoret-coret dinding ruang tamu?" tanya Mama dengan suara tinggi.

Aku mengangguk sambil sesenggukan.

"Janji?!"

"Janji, Ma."

"Kalau masih coret-coret tangannya Mama pukul lebih keras lagi?"

Aku mengangguk.

---

Keesokan paginya, Mama heran karena dinding ruang tamu sudah bersih kembali. Begitu pula dinding rumah lainnya, lantai dan kayu tempat tidur. Semua corat-coret pensil warnaku di situ hilang tak berbekas. Papa yang biasanya tenang juga nampak terheran-heran.

Mama berteriak terkejut ketika melihatku bangun dari tempat tidur. Papa juga kaget setengah mati. Aku pun berdiri di atas tempat tidur dan memandang cermin yang menempel di pintu lemari pakaian. Alamak! Aku hampir tidak mengenali lagi sosok dalam cermin. Seluruh wajahku penuh dengan corat-coret aneka warna. Bukan hanya wajah. Tangan, kaki dan seluruh badanku penuh dengan coretan warna-warni. Mama berkali-kali menyapu kulitku untuk memeriksa keanehan itu. Coretan tersebut seperti telah menyatu dengan kulitku.

Mama lalu mengambil air bercampur sambun untuk menghapus coretan tersebut. Tidak berhasil. Papa juga membawa kain lap yang sudah dibasahi dengan cairan berbau tajam lalu mengelap kulit tanganku. Juga tidak berhasil.

Mama mulai menangis kebingungan, sama bingungnya dengan Papa. Keduanya lalu membicarakan sesuatu yang tidak terlalu kupahami.

Di sisi tempat tidur tergeletak pensil warna orange. Seperti biasa, pensil warna itu lalu aku tempatkan di antara jemari mungilku dan mulai membuat gambar perahu di kayu tempat tidur. Mama dan Papa sedang tidak memperhatikan.

Barulah setelah gambar perahu aku tuntaskan, Mama kembali berteriak. Tapi bukan karena itu. Mama berlari mendekat untuk memastikan dia tidak salah lihat.

"Coretan di wajah kamu sudah hilang, Nak," ucap Mama.

Aku kembali berdiri di atas tempat tidur dan melihat ke dalam cermin. Benar, sebagian besar coretan di wajahku sudah hilang. Wajahku polos kembali seperti semula. Mama lalu melihat gambar perahu di sisi tempat tidur.

Pemandangan itu menghadirkan ide baru. Mama dan Papa pun membawakan semua pensil warnaku lalu memintaku untuk kembali membuat gambar-gambar di dinding ruang tamu. Tentu saja aku gembira setengah mati. Dalam sekejab dinding ruang tamu kami kembali semarak oleh corat-coret dari pensil warnaku. Ajaibnya, corat-coret di sekujur badanku juga hilang dengan sendirinya. Aku seperti memindahkan semua warna dari badanku ke dinding ruang tamu kami.

Sejak saat itu Mama tidak pernah lagi melarangku mewarnai dinding ruang tamu atau apapun dengan pensil warnaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun