Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Memberi Jiwa pada Pelangi

10 April 2018   17:32 Diperbarui: 10 April 2018   17:36 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bukankah pelangi itu maha karya Sang Maestro?" tanya Pengrajin Cerpen pada Pelantun Puisi.

"Benar, Sayang," sahut Pelantun Puisi. "...tapi Sang Maestro tidak menghembuskan jiwa pada pelangi. Kitalah yang harus memberinya jiwa."

Saat itu kedua sejoli sedang duduk bersisian di rooftop apartemen, memandangi awan-awan kelabu yang sebentar lagi menumpahkan hujan deras ke atas kota. 

Pengrajin Cerpen nampak tidak setuju dengan ungkapan hati Pelantun Puisi. Dia memainkan bando merah jambunya perlahan. "Bagaimana kalau hari ini kita buktikan? Jika pelangi nanti hadir, kamu dan aku tidak perlu berbuat apa-apa selain memandanginya. Kita lihat, apakah dia tetap indah atau lama kelamaan kehilangan keindahannya."
"Setuju!" sahut Pelantun Puisi sembari memamerkan gigi kelincinya. "Kamu keras kepala juga rupanya."

Setelah beberapa helaan napas, awan-awan kelabu benar-benar menumpahkan hujan dengan deras. Dari tempat duduk Pengrajin Cerpen dan Pelantun Puisi, awan-awan pembawa hujan itu nampak seperti gulali kelabu raksasa yang menjatuhkan remah-remahnya ke atas bumi. 

Gulali raksasa terus berarak ke atas kedua sejoli. Angin semakin dingin berembus. Pengrajin Cerpen pun merapatkan sweater merah hatinya, sedangkan Pelantun Puisi melingkarkan tangan kanannya ke pundak Pengrajin Cerpen lebih lebih erat.

Gerimis mulai menitik dan membasahi wajah keduanya. Lama kelamaan gerimis beralih rupa menjadi hujan. Keduanya tertawa gembira di antara tirai hujan yang semakin rapat. Mereka percaya, hujan akan membuat umur mereka lebih panjang, semakin deras hujan yang memandikan mereka, semakin panjang usia mereka.

Lama kelamaan, bibir kedua sejoli mulai kehilangan ronanya, berganti warna pucat karena dingin. Tapi kegembiraan tidak kunjung sirna dari wajah mereka.

"Aku bisa membuatkan payung yang cukup untuk kita berdua dari puisi-puisiku," ucap Pelantun Puisi.

Pengrajin Cerpen tersenyum, "...dan aku bisa memberi payung itu warna dengan cerpen-cerpenku. Tapi sudahlah... Hujan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Simpan saja kata-katamu. Siapa tahu pelangi nanti memang benar-benar kehilangan keindahannya tanpa sentuhan kita."

Hujan mulai reda, menyisakan gerimis yang menari malu-malu. Di bawah sana, motor, sepeda dan kendaraan lain yang tadinya menepi mulai bergerak kembali. Larik-larik cahaya matahari pun mulai menembus barisan awan kelabu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun