Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Kisah "Butet" yang Ditinggal Ayahnya Bergerilya

28 Agustus 2019   15:15 Diperbarui: 29 Agustus 2019   13:32 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentara. unsplash.com | Stijn Swinnen @stijnswinnen

Tulisan ini tidak ada kaitannya dengan seorang seniman teater Jawa yang bernama "Butet".

"Butet" yang dimaksud adalah judul lagu daerah Tapanuli yang dinyanyikan dengan penjiwaan (mood) mangandung (meratap). "Butet" sendiri adalah nama panggilan umum bagi anak perempuan dalam bahasa Batak.

Semenjak dipopulerkan oleh Emilia Contesa pada tahun 70-an, lagu rakyat ini telah melanglang buana. Konon, lagu "Butet" amat digemari di Taiwan dan wilayah Cina daratan. Ia sering dibawakan dalam acara-acara pertunjukan maupun kontes nyanyi. Tuntutan penjiwaan yang sulit menjadikannya salah satu nomor lagu yang kerap dikonteskan.

Lagu ini berkisah tentang seorang ibu yang harus menjelaskan kepada putrinya bahwa sang ayah sedang berjuang dalam perang gerilya melawan penjajah. Besar kemungkinan ia tidak akan kembali.


Lirik & Terjemahan Bebas

Butet, dipangungsian do amangmu ale butet
(Butet, di pengungsianlah papamu, ya Butet)
Da margurilla da mardarurat ale butet
(Bergerilya, serba darurat, ya Butet)
Da margurilla da mardarurat ale butet
(Bergerilya, serba darurat, ya Butet)

(II)

Butet, sotung ngolngolan rohamuna ale butet
(Butet, janganlah sedih hatimu, ya Butet)
Paima tona manang surat ale butet
(Tunggulah kabar atau surat, ya Butet)
Paima tona manang surat ale butet
(Tunggulah kabar atau surat, ya Butet)

I doge doge doge i dogei doge doge
I doge doge doge i dogei doge doge
[Ekspresi kesedihan]

(III)

Butet, tibo do mulak au amangmu ale butet
(Butet, cepat kok pulang papamu, ya Butet)
Musunta i ingkon saut do talu ale butet
(Musuh kita itu harus sampai kalah, ya Butet)
Musunta i ingkon saut do talu ale butet
(Musuh kita itu harus sampai kalah, ya Butet)

(IV)

Butet, haru patibu ma magodang ale butet
(Butet, cepatlah kau besar, ya Butet)
Asa adong da palang merah ale butet
(Agar ada yang menjadi Palang Merah, ya Butet)
Da palang merah ni negara ale butet
(Palang Merah untuk negara, ya Butet)

I doge doge doge i dogei doge doge
I doge doge doge i dogei doge doge
[Ekspresi kesedihan]

Dari lirik tersebut, kita segera mendapat kesan bahwa lagu "Butet" diciptakan pada atau segera sesudah masa kemerdekaan. Haruslah demikian, mengingat kedekatan yang kuat antara konteks pendengar dengan kisah yang disampaikan. Namun, mengenai penciptanya, tidak ada yang tahu secara pasti.

Asal Muasal Lagu
Beberapa sumber mengajukan teori menyangkut asal muasal lagu "Butet". (Sumber)

Dalam biografinya, Maraden Panggabean, Pangab dalam era Soeharto (1973-1978), sedikit menyinggung tentang asal muasal lagu "Butet". Ia mengingat pada waktu agresi militer Belanda yang pertama, rakyat mengungsi menyelamatkan diri mengikuti tentara Republik yang harus mundur. Diperkirakan sejuta orang mencari suaka di hutan-hutan pedalaman Tapanuli.

Menurutnya, untuk mengenang peristiwa tersebut, seorang seniman mengarang lagu yang menyayat hati tersebut. Penggubah lagu yang misterius itu hendak melukiskan betapa pahitnya penderitaan dan pengorbanan seorang ibu yang ditinggalkan suaminya bergerilya melawan Belanda.

Imajinasi ini diperkuat oleh Edisaputra, seorang wartawan senior, yang mengatakan bahwa dalam gelombang pengungsian tersebut, banyak perempuan yang hamil tua melahirkan bayinya secara darurat dalam perjalanan. Risiko kematian akibat persalinan tentu amat besar. Selesai melahirkan, ibu-ibu muda itu harus berangkat lagi meneruskan perjalanan.

Penderitaan semakin terasa sebab para suami tidak dapat mendampingi mereka demi melanjutkan pertempuran.

Lain lagi pendapat Jason Gultom, pula wartawan senior. Menurutnya, terciptanya lagu Butet berkaitan dengan perjuangan percetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) di desa Sitahuis, 16 km dari Sibolga, Tapanuli Tengah.

Di sana ia menemukan lagu "Butet" menjadi semacam pengantar tidur (lullaby) yang liriknya sedikit berbeda. Menurut para tetua di Sitahuis lirik aslinya berkata, "Butet, di Sitahuis do amang mu ale Butet // Da mancetak hepeng ORITA ale Butet." Artinya, "Butet di Sitahuislah papamu, ya Butet // Mencetak uang ORITA, ya Butet."

Salah satu misi Belanda dalam agresinya di Tapanuli adalah menghancurkan mesin cetak ORITA. Selama ORITA beredar, selama itu pula gulden Belanda tidak laku di wilayah Tapanuli. Maka, sementara perempuan dan anak-anak bersembunyi di tengah hutan, atau gua-gua, kaum pria bergerilya atau mencetak ORITA.

Pesan dari Lagu
Bagaimana nasib ayah "Butet" selanjutnya? Kita tidak tahu.

Mungkin dia sudah tewas dalam suatu baku tembak di hutan Tarutung. Jasadnya terbaring dalam salah satu kubur tanpa nisan di pinggir jalan menuju Balige. Atau, bisa jadi ia tertangkap dan meninggal dalam pengasingan di luar pulau.

Yang jelas, tujuh puluh tahun sudah Butet ditinggal ayahnya. Jika Butet masih hidup; ia sedang duduk di kursi goyang, seperti Rose dalam film "Titanic", menantikan kesempatan bersua dengan ayah yang tidak dikenalnya di dunia baka.

Baik "Butet" maupun ayahnya merupakan tokoh imajiner. Namun, melalui lagu tersebut, mereka menjadi cermin kolektif yang relevan di setiap zaman. Lagu "Butet" merepresentasikan kerinduan seorang anak perempuan terhadap ayahnya.

Saat ini ada banyak "Butet" lain yang tidak sempat mengenal ayahnya sejak lahir. Ada yang dirindukan; ada pula yang tidak. Melalui lagu ini, seorang perempuan yatim ditawarkan satu nasihat: "Hidup terus berjalan. Apa yang dikerjakan selama hidup, itu yang penting dan bermakna."

Cepatlah kau besar, Butet, agar menjadi Palang Merah yang berguna bagi nusa dan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun