Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Banyak yang Tidak Tepat dari Kritik Sherly Annavita terhadap Jokowi

24 Agustus 2019   11:05 Diperbarui: 26 Agustus 2019   14:57 28291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sherly Annavita yang tiba-tiba tenar setelah mengkritik Presiden Jokowi. Sumber foto: Instagram Sherly Annavita

Sosok perempuan bernama Sherly Annavita mendadak terkenal. Ramai-ramai situs berita daring memberitakan tentang dirinya yang berani mengkritik seorang pejabat pemerintah dalam sebuah siaran langsung acara debat televisi nasional. 

Tidak tanggung-tanggung, yang ia kritik adalah orang nomor satu di negeri ini: presiden Joko Widodo. Akibatnya, bak pahlawan yang baru ditemukan, ia langsung dipuja-puji kalangan oposisi.

Mengaku Mewakili Milenial

Di alam demokrasi saat ini, mengkritik pejabat pemerintah bukanlah hal yang tabu. Sudah banyak yang secara terang-terangan berani mengkritik presiden. Oknum oposisi tertentu senantiasa nyinyir terhadap apapun yang dilakukan presiden. 

Namun, Sherly berbeda. 

Kemunculannya tidak dapat diartikan sekadar pertambahan anggota dalam grup kritikus pemerintah. Ia mengaku mewakili kaum milenial--sesuatu yang baru dalam jajaran oposisi yang rata-rata berasal dari generasi X.

Secara usia, dapat dikatakan ia seumuran dengan rata-rata mahasiswa saya di kelas pekerja. 

Saya selalu tertarik berdiskusi dengan generasi milenial; menyelami cara mereka memandang dunia saat ini. Maka, ketika saya mendapati klaim milenial seorang Sherly, saya merasa tergugah untuk menilai cara berpikirnya.

Dalam pengalaman saya mengajar, saya mendapati banyak mahasiswa terjebak dalam cacat-cacat logika (logical-fallacies). Menarik kesimpulan secara terburu-buru, salah memproyeksikan pendapat orang lain, atau logika "gak nyambung" adalah beberapa kesalahan yang sering mereka lakukan.

Menelusuri komentar Sdri. Sherly dalam acara kemarin, saya menemukan pola-pola kesalahan yang sama. Sebagai pendidik, saya terpanggil untuk membetulkannya supaya nantinya pembaca dapat mewaspadai kesalahan yang sama di masa depan.

Untuk memudahkan Anda memahami, saya akan menyajikan sejumlah klaim disertai fakta dan tipe cacat logika apa yang dilakukan olehnya.

Marilah kita menyimak satu persatu.

Klaim #1 : Ibu kota dipindahkan karena macet, banjir, polusi, dan pemerataan tanah

Ketika mengomentari rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan dalam acara kemarin, Sherly mengklaim bahwa rencana tersebut merupakan bukti kegagalan Jokowi sendiri.

"Karena bukankah salah satu program besar Pak Jokowi (saat itu) mencalonkan diri jadi Gubernur dan menjadi Presiden adalah penanganan semua keruwetan Jakarta yang di dalamnya termasuk banjir, macet, polusi, dan lain-lain?", demikian argumennya.

Ia melanjutkan, "Jadi ketika sekarang beliau menjadikan alasan pindahnya ibu kota ini karena macet, banjir, dan polusi seperti yang tadi sama-sama kita dengar. Maka seolah beliau sedang mengonfirmasi kegagalannya dalam memenuhi janji kampanye beliau saat Pilgub bahkan Pilpres."

Sherly, dan semua narasumber dalam acara tersebut, memberi komentar setelah sebuah video diperlihatkan. Tayangan tersebut mengarahkan penonton untuk meyakini bahwa Presiden memindahkan Ibu kota demi sejumlah alasan sebagaimana disebutkan oleh Sherly tadi.

Fakta : Pemindahan Ibu kota bagian dari visi "Indonesia Sentris"

Dalam zaman dimana informasi digital mudah diakses saat ini, tidaklah sulit untuk menyelidiki alasan utama rencana pemindahan Ibu kota. Jejak-jejak komentar Presiden dan menteri Bapenas banyak terdapat di situs-situs berita.

Dengan sedikit usaha dan logika kita dapat mengetahui bahwa pemindahan Ibu kota merupakan satu bagian dari strategi jangka panjang pemerintah menuju Indonesia sentris, bukan lagi Jawa sentris.

Lantas, di mana sangkut-pautnya isu banjir, macet, dan polusi yang disemprotkan Sherley itu?

Aspek-aspek itu berada dalam penjelasan tentang syarat Ibu kota yang baru. Presiden menginginkan Ibukota yang baru minim risiko banjir, bebas pencemaran lingkungan, minim potensi konflik.

Cacat Logika : Strawman Argument 

Dalam sebuah "argumen orang-orangan sawah" (strawman argument), subjek menyerang pendirian yang sebenarnya tidak dianut lawan. Alih-alih menyerang pendirian lawan yang sesungguhnya, subjek menyerang pendapat yang lebih mudah ditaklukkan, meskipun bukan itu yang diyakini lawan.

Presiden tidak menempatkan syarat Ibu kota baru sebagai dasar pemindahan Ibu kota. Dasar dulu, syarat kemudian.

Klaim #2 : Presiden terfokus pada masalah Ibu kota, sehingga utang tidak berdampak positif

Logika pernyataan Sherly tersebut tidak dapat dipisahkan dari alasan serupa yang disampaikannya dalam sebuah unggahan video di akun Twitternya (30/4). 

Di situ ia berargumen: "Daripada pak Jokowi terfokus mau memindahkan Ibu kota yang estimasi biayanya mencapai Rp.466 triliun, maka akan jauh lebih baik, beliau fokus membuktikan bahwa ketika pemerintahannya berutang tiga kali lipat dibandingkan era pak Soeharto, dan lebih besar dari sepuluh tahun era pak SBY, itu akan berefek lebih besar pada minimnya pengangguran dan meningkatnya kesejahteraan rakyat, bukan malah menambah utang negara."

Menurut Sherly, Presiden (melulu) fokus mau memindahkan Ibu kota, padahal utang yang sudah ditambah beliau tidak memberikan dampak yang signifikan bagi rakyat. Alias, utang tidak menghasilkan kesejahteraan rakyat.

Fakta A : Presiden tidak melulu fokus memindahkan Ibu kota 

Rencana pemindahan Ibu kota tentu saja bukan satu-satunya masalah penting yang dipikirkan Presiden. Jika itu satu-satunya masalah, maka ia harus diselesaikan amat segera. Kenyataannya, berulangkali telah disampaikan bahwa proses pemindahan diadakan bertahap, dengan target selesai maksimal tahun 2024. (Baca di sini.)

Fakta B : Pemerintahan Jokowi memang menambah utang lebih dari tiga kali lipat Soeharto, tetapi rasio utang menurun

Dalam periode 25 tahun memimpin, jumlah utang pemerintah Soeharto di kisaran Rp 551,4 triliun dengan rasio 57,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam periode pertama pemerintahan Jokowi, jumlah utang pemerintah mengalami penambahan Rp 1.809,6 triliun, dengan rasio total utang 29,98% terhadap PDB.

Klaim Sherley dapat dibenarkan dengan catatan harus mengingat beberapa faktor; inflasi dan kurs rupiah misalnya.

Pada era Soeharto 1 dollar bernilai 2 ribu rupiah. Sekarang? Pada era Soeharto, sepeda motor Honda dapat dibeli dengan 3 juta rupiah. Sekarang?

Di samping itu, Sherley lupa membeberkan faktor persentase utang terhadap PDB. UU Keuangan Negara Pasal 12 ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah menjaga rasio utang di bawah 60% dari PDB. Dalam hal ini, utang di era siapa yang paling rawan?

Fakta C : Tingkat kemiskinan dan pengangguran menurun

Kementerian Keuangan mempunyai data yang rinci terkait klaim ini.

"Tingkat kemiskinan turun dari 11,25% pada Maret 2014 menjadi 9,82% pada Maret 2018. Tingkat kemiskinan dalam satu digit ini merupakan yang pertama kali dicapai oleh Pemerintah Indonesia. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga mengalami penurunan dari 5,70% pada Februari 2014 menjadi 5,34% pada Agustus 2018." (Dikutip dari laporan ini)

Klaim #3 : Gali Lubang Tutup Lubang Karena APBN Minus

Dalam video unggahan Twitter itu, Sherly juga mengklaim bahwa utang pada tahun ini (275 triliun Rupiah) dua kali lipat dibanding akhir era pak SBY. Dan, sedihnya, kita harus membayar utang ini dengan kembali berutang karena minusnya APBN.

Fakta : Primary-balance berkurang

Terkait dengan anggapan bahwa Indonesia adalah negara yang berorientasi "gali lubang tutup lubang" dalam urusan utang, ekonomis Bank Permata, Josua Pardede, tak setuju. Menurutnya, justru dalam 4-5 tahun terakhir defisit keseimbangan primer (primary balance) Indonesia terus menyusut. (Baca di sini.)

"Dari defisit Rp142,5 triliun pada tahun 2015, menjadi defisit Rp 11,5 triliun pada tahun 2018 dan diperkirakan akan mencapai defisit Rp34,7 triliun pada tahun 2019, dan diupayakan lebih rendah lagi menjadi Rp 12,0 triliun pada tahun 2020," demikian penjelasan Josua.

Klaim #4 : Banyak BUMN merugi di era Jokowi pasti salah Jokowi

Sherly juga mengkritik kinerja BUMN.

"Banyak diantaranya didirikan dan dibesarkan pada masa presiden pertama dan kedua RI, menjadi kebanggan kita semua sehingga sedih rasanya ketika akhir-akhir ini kita mendapat banyak laporan tentang BUMN yang merugi bahkan menuju kebangkrutan," ujarnya dalam video di akun Instagram miliknya. Sebagai contoh, ia menyebut kasus Garuda Indonesia dan Krakatau Steel.

Cacat Logika: Texas Sharpshooter & Post-hoc 

Seorang yang jatuh dalam cacat logika ini dengan sengaja memilih data atau pola yang disesuaikan dengan praduga atau asumsi yang lebih dulu ia yakini. 

Disebut "Texas sharpshooter" karena mengilustrasikan seorang petembak jitu yang sembarang menembak tetapi tetap mengenai titik tengah lingkaran target.

Fakta mengenai degradasi BUMN hanyalah sembarang data yang dipakai untuk mendukung asumsi bahwa pemerintahan Jokowi telah salah urus akhir-akhir ini. Karena fakta dipaksakan untuk sesuai dengan kesimpulan, yang berikutnya terjadi adalah cacat logika post-hoc.

Ini adalah singkatan dari "post hoc ergo propter hoc" (setelah ini, maka karena ini). 

Logika Sherly adalah degradasi BUMN terjadi setelah Jokowi menjabat presiden, maka degradasi itu dikarenakan Jokowi. Padahal, kemelut di tubuh BUMN yang dimaksud bersifat kronis, hasil dari miss-management selama belasan atau puluhan tahun.

Klaim #5 : Presiden belum menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945

Ini merupakan sebuah tuduhan serius yang dilontarkan Sherly dalam unggahan video Twitternya. Namun, karena disampaikan sebagai anak kalimat, pendengar tidak menyadarinya.

Sherly berkata, "Jadi yang harus presiden lakukan sekarang tentu bukan lagi memindahkan ibu kota melainkan segera menjalankan amanat Pasal 33 UUD 45 secara murni dan konsekuen dengan garis konstitusi itu masalah mendasar ekonomi negara kita akan bisa selesai satu demi satu, Setuju ?," tegasnya.

Fakta : Presiden sudah menjalankan amanat UUD 1945

Hal ini tidak perlu diragukan.

Cacat Logika : Non-sequitur

Bila kesimpulan yang diajukan tidak cocok dengan premis, maka seorang dikatakan telah melakukan kesalahan non-sequitur. Dalam bahasa sehari-hari kita menyebutnya: gak nyambung. 

Apa hubungannya masalah utang negara dengan "cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" dan "demokrasi ekonomi"?

Sulit untuk menempatkan klaim yang terakhir ini sebagai suatu logical fallacy, sebab ia sudah merupakan suatu tuduhan yang mengarah fitnah.

Kiranya melalui tulisan ini kita mulai mewaspadai logika kita ketika berkomentar.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun