Konon, gaya hidup ini dimulai dari seorang remaja pria bernama Jean Marc Zeita yang pindah ke Paris pada 1976. Di sana ia membentuk komunitas yang meniru gaya penampilan orang Perancis. Sepulang dari Paris, kebiasaan itu ia populerkan di kampungnya.
Hobi demikian tentu memerlukan banyak biaya. Harga busana Sapeurs rata-rata empat kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka. Baju-baju dan aksesoris-aksesoris itu didatangkan langsung dari Paris. Pakaian KW dianggap tabu.
Harga busana Sapeurs rata-rata empat kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka.
Demi mendapatkan busana terbaik, banyak di antara mereka tidak ragu meminjam uang sampai ribuan dollar. Bahkan, untuk memenuhi nafsu hedonis itu, mereka rela tidak jadi pindah ke rumah yang lebih baik atau menangguhkan pembayaran uang sekolah anaknya. Seringkali seorang Sapeur tidak memiliki pasokan air di rumahnya, tetapi di lemarinya tergantung beberapa baju Dolce & Gabbana.
Seringkali seorang Sapeur tidak memiliki pasokan air di rumahnya, tetapi di lemarinya tergantung beberapa baju Dolce & Gabbana.
Seiring berkembangnya hobi tersebut, muncullah filsafat sapologie untuk membenarkannya. Sapologie berfokus pada usaha menumbuhkan rasa percaya diri di tengah situasi yang buruk.
Generasi La Sape di Era Media Sosial
Kota Manado telah lama dituding sebagai tempat maraknya budaya konsumtif. Saya pikir, itu benar adanya. Indikasi gaya hidup hedonis tampak jelas dari kesukaan orang-orang berpesta. Meski berpenghasilan pas-pasan, sebuah keluarga mati-matian mengadakan pesta yang wah agar tidak mendapat malu.
Ada banyak cerita seperti itu. Sebuah pesta sweet-seventeen diadakan di sebuah hotel berbintang lima bagi seorang remaja putri. Sehari-hari gadis itu ke sekolah naik angkot.
Di tempat lain, sebuah keluarga menyajikan bermeja-meja penuh makanan dalam sebuah ibadah perayaan ulang tahun di rumahnya yang reyot.
Sebuah pesta sweet-seventeen diadakan di sebuah hotel berbintang lima bagi seorang remaja putri. Sehari-hari gadis itu ke sekolah naik angkot.