Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bertemu Seorang "Meneer" di Kota Manado

10 Maret 2019   19:11 Diperbarui: 13 Maret 2019   08:53 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Patung yang berada di ruang kluis yang ada di Museum Bank Mandiri (Kompas.com)

Sudah hampir setahun ini saya tinggal dan mengajar di kota Manado, kota asal istri saya. Pertengahan tahun lalu kami memutuskan untuk hijrah ke kota yang mendapat julukan "Bumi Nyiur Melambai" ini.

Kota Manado terletak di teluk Manado, di ujung topi "K" dari pulau Sulawesi. Posisinya yang mencuat ke arah samudera membuatnya sering dijuluki "Gerbang Pasifik". Selain memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer, kota ini juga dikelilingi oleh perbukitan dan gunung.

Telah saya katakan bahwa saya terpanggil untuk mengajar. Pada hari pertama di kampus, seorang satpam menyapa saya dengan sebutan "Mener" ("e" yang terakhir pepat seperti dalam kata "kecap"). Saya tidak terlalu memperhatikannya.

Pada waktu diperkenalkan di hadapan rekan-rekan seprofesi, pimpinan juga menambahkan gelar itu sebelum menyebut nama saya.  Dengan cepat saya mengasosiasikan sapaan tersebut dengan kata "Meneer", yang berasal dari bahasa Belanda. Namun, mengapa?

Saya pikir kata ini sudah punah. Yang saya tahu, kata "Meneer" adalah peninggalan kolonial yang berarti "pak" atau "tuan". Terakhir kali istilah ini dipakai sebagai nama sebuah produk jamu seduh yang perusahaannya sudah tutup sekarang. Itulah satu-satunya penggunaan atas istilah itu yang saya tahu. Di luar itu tidak ada.

Jadi, di hari itu saya seolah mengalami peristiwa ikan purba coelacanth ditemukan kembali. Kata "Meneer" bangkit dari mati suri.

Sekarang Anda mungkin bisa menebak, kata "Mener" secara sederhana berarti "dosen pria". Anda benar. Dengan demikian, "dosen wanita" disebut "Mevrouw".

Ternyata bukan. Panggilan untuk dosen wanita adalah "Encik."

Ini menarik demi dua alasan. Pertama, umumnya bahasa Indonesia tidak membedakan istilah profesi menurut jenis kelamin. Kita mengenal "dokter" laki-laki dan "dokter" perempuan; tidak pernah "dokter" dan "doktir". Ada "polisi" laki-laki dan "polisi" wanita, tetapi tidak "pollak" dan "polwan". Paling-paling pembedaan jender terasa pada kata "mahasiswa" dan "mahasiswi" atau "pemuda" dan "pemudi".

Kedua, istilah "Encik" berasal dari bahasa Hokian yang berarti "kakak perempuan". Lucu, pikir saya. Kata yang satu diserap dari Belanda, yang lain dipinjam dari Tiongkok. Sampai sekarang saya belum menemukan penjelasannya.

Yang jelas, seringkali saya merasa sungkan bila menyapa dosen wanita senior dengan sebutan "Encik". Saya pikir, tidaklah etis menyapa sebagai kakak seorang wanita yang seumuran dengan ibu kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun