Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mie Pinangsia Pasar Gedhe: Mewah dengan Lanskap Titanic

3 Maret 2019   17:48 Diperbarui: 3 Maret 2019   17:52 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Rembolle

Konon, hidangan favorit di warung ini adalah mie kuah dan pangsit rebus. Saya hanya memesan mie kuah, tanpa pangsit atau bakso. Selain demi alasan kesopanan sebagai yang ditraktir, saya selalu memesan menu yang paling standar pada kunjungan pertama. Filosofi saya, jika yang standar saja enak, apalagi ditambah aksesoris lainnya.

Sembari menunggu, saya meminta izin untuk menjelajahi lantai dua itu. Ternyata, ada banyak warung makan di setiap sisi gedung. Sebagian tutup karena katanya hanya melayani sarapan. Masuk agak ke tengah, suasana agak ramai. Rupanya di situ ada warung nasi Jawa. Banyak laki-laki duduk di bangku panjang sedang menikmati istrahat siangnya.

Puas jalan-jalan, saya kembali ke meja makan. Tepat pada waktunya. Sebentar kemudian datanglah baki yang membawa mangkok-mangkok pesanan kami.

Saya melirik ke dalam mangkok di depan saya. Tidak ada yang spesial. Seonggok mie kuning panas berkilauan dengan topping daging cincang dan sayur caisim diletakkan bersisian. Taburan daun bawang menjadi puncaknya.

Setelah mengucap syukur, rencana pertama saya adalah mencicipi kuah pendamping. Wuah, rasa bawang putihnya sungguh terasa. Pertanda bagus, pikir saya. Selanjutnya saya guyurkan saja kuah selebihnya ke atas mie. Lalu, diaduk sebentar dengan sumpit supaya bumbunya merata. This is it.

Slurrpph . . . Oh, wow. Rasanya otentik. Mie ini beda. Ada yang lain dengan teksturnya: tebal dan kenyal. Setiap helai licin dengan minyak sehingga begitu mudah menyelinap di bibir. Sayurnya pun renyah dan tidak pahit. Hasil dari timing perebusan yang tepat. Tidak perlu saya jelaskan mengenai pork cincangnya yang sudah pasti asin nan manis. Kombinasi dengan daun bawang menyisakan efek getir sedikit pedas di akhir.

Semuanya begitu plagiat terhadap mie pangsit Siantar: teknik, tekstur, dan bumbunya. Kecuali, mungkin porsinya lebih sedikit. Tetapi, pas-lah buat wanita. Saya melihat rekan-rekan wanita saya begitu menghayati pangsit mereka. Tidak diragukan, Mie Pinangsia ini layak diganjar predikat "Cumlaude."

Semoga Masih Ada

Sejauh pengembaraan kuliner saya, belum ada yang menyamai rating street-food seperti Mie Pinangsia Pasar Gedhe. Kombinasi good food, good view, good price merupakan nilai jual yang sulit dikalahkan. Untuk menikmati kombinasi seperti itu di Jakarta, seorang paling tidak harus mengeluarkan Rp 50-70 ribu untuk satu porsi. Di sini cuma Rp 20 ribu.

Di kawasan Pasar Gedhe ini sebenarnya ada satu lagi warung makan yang terkenal: Timlo Sastro. Good food & good price. Namun, lokasinya yang berada persis di depan pembuangan sampah menurunkan penilaian saya.

Setelah kunjungan yang pertama, tentu beberapa kali saya kembali ke Mie Pinangsia. Rasanya konsisten. Sayangnya, setiap saya ke sana, tidak begitu banyak orang yang duduk makan. Mungkin kurang promosi, atau mungkin karena saya selalu datang mendekati jam tutup. Jadi, ada sedikit kekhawatiran warung tersebut akan pindah atau berhenti berjualan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun