Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Galaunya Purifikasi Militer Kita

2 Maret 2019   10:51 Diperbarui: 2 Maret 2019   12:52 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Isu kebangkitan Dwi Fungsi TNI kembali merebak.

Wacana militer kembali dapat menempati jabatan sipil ini bermula ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengusulkan revisi terhadap Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Panglima prihatin atas nasib para Perwira tinggi (Pati) dan Perwira menengah (Pamen) yang belum mendapat jabatan dalam struktur TNI.

Sipil pun galau, terjebak dalam ambivalensi. Di satu sisi rakyat kadung mencintai pemerintahan Joko Widodo yang telah membawa banyak perubahan positif, tetapi di sisi lain rakyat takut portal menuju Orde Baru akan terbuka jika usul itu diterima.

Pasang penolakan mulai naik. Petisi diusung melalui change.org. Pokoknya, militer harus pure sesuai fitrahnya.

Membidik Target Persoalan Sebenarnya

Diketahui, di tahun 2017, sebanyak 141 Pati dan 790 Pamen dari berbagai matra dalam status non-job. Menanggapi persoalan ini, Brigjen TNI Sisriadi, ketika itu Sekretaris Ditjen Kuathan Kemhan, menawarkan solusi berupa modifikasi Masa Dinas Dalam Pangkat (MDDP) (Wira, Maret-April 2018). Implementasinya, menambah ruang-ruang jabatan baru bagi Pati dan Kolonel.

Pada rapat pimpinan TNI dan Polri akhir Januari 2019 silam, Presiden Jokowi menjanjikan 60 ruang jabatan baru untuk Pati TNI. Di samping itu, Presiden akan memperpanjang batas usia pensiun prajurit TNI menjadi 58 tahun. Mungkinkah langkah-langkah ini efektif?

Dalam evaluasinya di tahun ini (kumparan.com; 18/02/2019), Mayjen Sisriadi, kini Kapuspen TNI, membeberkan fakta bahwa jumlah Pati dan Kolonel terus bertambah dengan cepat. Sebabnya, seleksi perwira untuk menduduki jabatan Pamen dan Pati tidak ketat. Semua lulusan Seskoad hampir bisa dipastikan akan menduduki jabatan golongan IV. Selain itu, modifikasi MDDP yang telah dilakukan tidak proporsional.

Sebelum UU TNI, masa dinas pangkat Letnan adalah 7 tahun, Kapten 4 Tahun, Mayor 5 tahun, Letkol 4 tahun, Kolonel 4 tahun dan Pati 8 tahun. Waktu itu, tidak terjadi kelebihan jumlah Pati dan Pamen karena masa dinas, ruang jabatan, dan jumlah Perwira seimbang.

Sejak 2004, masa dinas golongan Pati bertambah menjadi 11 tahun. Padahal, logisnya, menurut Mayjen Sisriadi, penambahan masa dinas diberikan kepada jenjang Letnan, Kapten, dan Mayor, sedangkan golongan Pati tetap 8 tahun.

Kesimpulannya, perpanjangan usia pensiun harus disertai usaha merevisi MDDP.

Lantas, mengapa ada solusi mengkaryakan Pati dan Pamen di kementerian dan lembaga-lembaga strategis?

Purifikasi Militer Setengah Hati?

Hersubeno Arif melalui kumparan.com (25/2/2019) meyakini bahwa usulan ini merupakan bagian dari strategi besar Jokowi untuk memantapkan kekuasaan sipilnya dengan menggandeng militer. Bisa jadi.

Medio tahun lalu Presiden mengumpulkan 4.500 orang Babinsa dari seluruh Indonesia di Bandung (17/7/2018), menitipkan pesan agar mereka menjelaskan kepada masyarakat bahwa dirinya bukan keturunan PKI. Jokowi juga meminta agar anggota TNI dan Polri menjelaskan kesuksesan kinerja pemerintahan kepada masyarakat (23/8/2018).

Namun, sekali lagi, persoalannya adalah apakah mengkaryakan militer aktif di kementerian atau lembaga negara sama sekali tabu.

Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI memang mengharamkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil. Namun, pasal yang sama mengamanatkan peluang tentara menduduki jabatan struktural di sepuluh instansi sipil. Dua di antaranya adalah Badan SAR Nasional dan Badan Narkotika Nasional.

Selama ini tidak ada keberatan terhadap komando dan sinergi militer dalam badan-badan tersebut. Malahan, kontribusi dan pencapaian-pencapaian mereka dalam menangani bencana alam dan meringkus gembong-gembong narkotika lintas negara amat patut diapresiasi.

Wajarlah bila kontribusi militer dirasa semakin diperlukan. Maka, ada rencana untuk mengkaryakan 5.000 Babinsa sebagai fasilitator BNPB tahap pascabencana. Terhadap ide ini, Fahri Hamzah tampaknya setuju (tirto.id, 8/2/2019). Pula, prajurit akan diperbantukan sebagai tenaga pengajar di wilayah-wilayah NKRI yang Terluar, Tertinggal, Terdepan (antaranews.com, 1/3/2019).

Sebelumnya, tentara pernah dilibatkan dalam mencetak sawah-sawah baru atas dasar kerja sama antara Mentan Andi Amran Sulaiman dan Jenderal Gatot Nurmantyo (2015). Tentara pula turut menertibkan demo/mogok berdasarkan nota kesepahaman antara Polri dan TNI (2018).

Di gerbang utama Pusdikpassus Batujajar tercantum slogan yang menyengat jiwa: "Anda Ragu-Ragu Kembali Sekarang Juga." Slogan itu mencerminkan tekad bulat prajurit komando yang telah dipurifikasi. Sayangnya, semangat itu tidak tampak pada UU TNI. Mungkinkah para perancang UU tersebut mengalami ketergesaan yang sama seperti UU Permusikan dan Pendidikan Keagamaan baru-baru ini?

Mengelola Potensi Tenaga Militer Indonesia

Sesungguhnya tidak ada presiden Indonesia yang ingin dicatat dalam sejarah sebagai sosok yang mengkhianati Reformasi dengan membangkitkan Dwifungsi TNI. Namun, Presiden juga menyadari bahwa masalah personalia dinas militer merupakan bom waktu yang harus dijinakkan sejak dini.

Sepertinya, pembenahan terhadap struktural militer akan lebih efektif bila dilakukan secara internal. Akan lebih aman bila dilema Perwira yang jobless dituntaskan dengan merevisi MDDP agar lebih proporsional ketimbang menyalurkan kelebihan sumber daya itu ke lembaga-lembaga sipil. Dengan begitu, prajurit dijauhkan dari godaan buah terlarang jabatan birokrat sejak dini.

Tidak dapat dipungkiri, Indonesia akan selalu membutuhkan dedikasi, militansi, dan kedisiplinan ala militer. Berita baiknya, bonus demografi yang besar dapat menjamin ketersediaan personel militer Indonesia di masa depan. Namun, pesimisme muncul demi melihat kecenderungan generasi milenial yang manja, antisosial, dan take everything for granted.

Mengingat agenda purifikasi militer harus terus dijalankan, negara memerlukan alternatif non-militer untuk mengisi badan-badan berkualifikasi militer. Mungkin ini saatnya pemerintah mulai melirik utilisasi wajib militer secara terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun