Laporan yang dikeluarkan oleh sebuah Badan PBB (UNISDR) berdasarkan data dari Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) per 24 Januari 2019 di Jenewa menampilkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana alam tertinggi di sepajang 2018.Â
Dari total 10.373 korban jiwa bencana alam di seluruh dunia, 4.535 orang terdapat di Indonesia. Angka ini lebih dari dua kali lipat dari runner-up, India, yang menderita korban 1.388 jiwa.
Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat dan pemerintah di daerah lain akan pentingnya kesiagaan mengantisipasi bencana, seiring naiknya peringkat Indonesia dalam kategori "countries most prone to earthquake". Selain tindakan-tindakan mitigasi bencana secara kuratif, juga perlu dipikirkan usaha mitigasi pra-kuratif. Mempersiapkan generasi penyintas bencana adalah sebuah usaha yang masuk akal.
Membangun Generasi Penyintas Bencana
Untuk membangun sebuah generasi diperlukan usaha-usaha pedagogis yang rutin dan sistematis. Usaha seperti ini sebenarnya bukan hal yang asing di negeri ini. Kita telah lama berutang kepada gerakan Pramuka yang lestari di sekolah-sekolah negeri.Â
Namun, saat ini tidak dipungkiri, selain dari program-program jambore yang diadakan, organisasi kepanduan ini seolah-olah mati suri. Padahal, jika diberdayakan dengan optimal, setiap strata di dalamnya, dari siaga hingga pandega dapat menjadi pelopor penyintas bencana.
Sekolah adalah tempat persemaian terbaik bagi generasi penyintas bencana. Sekolah dapat memulai dengan membagikan lembar panduan keadaan darurat bencana kepada setiap peserta didik. Sekali sebulan guru juga dapat mendemonstrasikan tips panduan keselamatan di awal jam belajar. Dan, di waktu-waktu tertentu diadakan simulasi darurat bencana guna mengasah insting dan keahlian menyintas siswa.
Dukungan pemerintah dapat direalisasikan melalui kebijakan-kebijakan publik pro-mitigasi, dengan berkaca kepada sesama negara yang rentan terhadap gempa bumi, Jepang, misalnya. Dalam periode prime-time, siaran televisi menayangkan panduan singkat cara bertahan di kala bencana.Â
Penduduk mendapat tips audio-visual tentang posisi berlindung di kala gempa dan tsunami, cara mengapung di kala banjir, atau bertahan hidup dengan persediaan nutrisi yang minim.
Tempat-tempat perlindungan (shelter) sedapatnya dibangun di lokasi-lokasi yang terlindung dan mudah diakses masyarakat. Namun, mempertimbangkan tingkat korupsi, kerentanan fasilitas umum di negeri ini, opsi ini tidak efektif untuk diimplementasikan dalam waktu dekat. Memodifikasi fasilitas balai desa, dan rumah-rumah ibadah, menjadi Balai Sigap Bencana adalah alternatif yang layak dicoba.
Membangun selalu lebih sulit dan mahal daripada menghancurkan. Meskipun demikian, hasilnya sepadan dengan usahanya. Kehilangan sebuah generasi (karena tidak berdaya sintas) jauh lebih mahal daripada usaha dan biaya untuk membangun sebuah generasi.