Mohon tunggu...
Phedra Hean Bestara
Phedra Hean Bestara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menuangkan pikiran melalui tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Prosais: Tembalang yang Hilang

27 Februari 2021   09:00 Diperbarui: 23 April 2021   09:12 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Membuka kembali catatan masa lalu, tanpa tersadar kau menemaniku sambil menerjemahkan kata-kata dahulu yang penuh kecewa. Ketika di lorong rumah sakit, pikiran terbebani oleh ayah masuk ke ruang operasi.

Tiba-tiba kau membebani lagi dengan untaian kata seakan aku sedang baik-baik saja. Mengakui bahwa dulu belum sedewasa ini. Maaf atas segala khilaf. Dariku yang masih mengagumimu.

*

Musim telah berganti, kau masih belum memberi amnesti. Cemas berlebih, pikiran masih belum juga pulih. Menganggap ini berlebihan, lalu bertanya sampai kapan jadi tawanan?

Amarah diluapkan dengan nada lembut, kesalahanku absolut. Meminta kepada Maha Pemilik Segala agar hatimu lunak kembali merupakan keputusan paling mengesankan. Bagaimana tidak, kau akhirnya mau membuka perbincangan kembali meski tak sepenuhnya jiwamu menyertai.

Setelah ditelaah, kau mulai nyaman di dekapnya. Sosok yang kau dulu sebut hama, kini beralih sebagai satu-satunya sumber bahagia.

Air mata yang belum menampakkan kering membuat tubuh bergeming. Langit pagi seakan tersenyum dan berkata bahwa semua ini akan berakhir, mungkin aku akan kuat walau akhirnya sekarat.

*

Mengendarai sepeda motor menuju universitas dengan diiringi bayanganmu sudah membuatku tenang meski sekarang tinggal kenang, lalu ucapan semangat ke kampus yang kini pupus.

Menyendiri di selasar kelas pagi, keramaian mahasiswa lalu-lalang di hadapan jasad yang telah hilang tekad. Hatinya mengatup. Pikirannya nyaris tak hidup.

Jalanan di sekeliling rumahmu seperti mengancam nyawaku, trauma memaku lantaran ketidaksiapan oleh cerita yang ku sangka berakhir bahagia. Harapku menipis sebab kau semakin harmonis. Jantung berdetak dengan berontak, khawatir gerimis hadir menyapa lensa mata ketika sedang berkendara.

Mundur bukan suatu alasan untuk bisa bertahan. Menghadapi polusi rindu di sekitar jalan itu, kebisingan kenangan yang terdengar oleh telinga, lalu teriknya hunianmu sebab rencana dahulu yang ingin meminta doa restu.

Trauma? Iya...

Menyesal? Sangat...

Namun untuk apa dipikirkan lagi saat ini. Berakhir cerita bukan berarti berakhir segala. Lantaran aku percaya, cerita yang ditulis pencipta kita; jauh lebih istimewa. Dan percaya, kau ditakdirkan sesaat ke karangan hidupku karena suatu alasan yang jelas. Iya, untuk meluaskan ikhlas.

Tetapi sekarang, aku perlu menganalisa sebelum benar-benar memulai cerita yang menyangkutpautkan rasa; sebab berpindah bukan perkara mudah. Banyak yang gugur dalam medan kerinduan, bertempur melawan kecemasan, hingga amunisi hati yang sukar terisi kembali.

Belum pernah berpijak di Kota Lumpia tetapi sempat menyebabkan diri insomnia. Komunikasi jarak jauh yang ku kira ampuh, ternyata malah membuat hati rapuh. Dan semoga hadirnya selalu membuat harimu kian riang; Tembalangku yang hilang.

____

Karya: Bestara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun