Mohon tunggu...
Phadli Harahap
Phadli Harahap Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Seorang Ayah yang senang bercerita. Menulis dan Giat Bersama di sabumiku.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyangkalan Status Pelaku Pemerkosaan Santriwati di Bandung Tak Akan Menolong Korban

11 Desember 2021   21:13 Diperbarui: 11 Desember 2021   21:28 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA 

Belum usai masalah pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi, netizen dikagetkan pemberitaan mengenai pemerkosaan di pesantren di Bandung. Korbannya adalah anak-anak perempuan. Bukan 1 orang, melainkan 12 orang menurut bahkan dalam berita lainnya jumlahnya lebih banyak. Di antara mereka sudah ada yang melahirkan. Sejak dari tahun 2016, derita berkepanjangan itu menghantui anak-anak yang harusnya belajar tentang Ilmu dalam agama Islam. Tetapi menjadi korban predator seksual.

Pelakunya ada guru sekaligus pemilik pemilik Ponpes Madani Boarding School di Cibiru, Pondok Tahfidz Al Ikhlas, dan Yayasan Manarul Huda Antapani (Madani) Antapani di Kota Bandung. Herry Wirawan namanya. Jika merujuk sekolah berbasis agama Islam, selayaknya predator seksual itu disebut Ustad oleh para santrinya.

Namun rupanya sebagian orang berupaya menolaknya dengan mengatakan orang ini bukan ustad dan bukan pula pemimpin pondok pesantren. Melainkan bentuk lembaga pendidikannya adalah boarding school. Begitulah, kenyataan memang pahit, namun fakta tidak bisa dikaburkan begitu saja. Karena kasus pemerkosaan, pencabulan, pelecehan, atau kejahatan seksual serupa bukan pertama kali terjadi. Pemerkosaan yang dilakukan guru pesantren itu nyata adanya.

Justru, menyembunyikan latar belakang tersangka sebagai pengelola pesantren bisa mengaburkan masalah. Seolah-olah perilaku biadab itu tidak dilakukan seorang guru agama kepada santrinya. Padahal, sudah terbukti seorang pengelola lembaga pendidikan Islam tersebut adalah pemerkosa. Sekali lagi korbannya tidak bukan hanya satu orang dan sudah memiliki anak dari hasil kejahatan tersebut.

Selain itu, seolah pembahasan kasus tersebut dipersempit hanya menyoal tentang pemimpin pesantren atau bukan. Tetapi tidak melihat bagaimana kondisi korban saat ini. Mereka yang diusia anak-anak harus menanggung masalah pemerkosaan yang akan membekas disisa kehidupan mereka.

Membuka Mata Kalau Kasus Pemerkosaan Di Pesantren itu Nyata

Mengutip pemberitaan kompas.com, Polda Jawa Barat sengaja tidak merilis dan tidak memublikasikan kasus pemerkosaan karena korban masih di bawah umur, menjaga dampak sosial dan psikologis mereka. Sementara kasusnya terus bergulir di persidangan.

Setelah terungkap ke publik, banyak orang terhenyak dan mencaci maki pelaku. Tetapi lupa bertanya tentang kondisi para korban saat. Bagaimana nasib anak-anak santriwati tersebut setelah lepas dari cengkraman pelaku?

Dari berita kompas.com pula, dikabarkan kalau sebelas santriwati korban pemerkosaan mendapat pendampingan psikologis dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut. Dari P2TPA diketahui kalau korban dibuat tak berdaya menerima ancaman dan tak diberi kebebasan bertemu orang tua. Hingga akhirnya tak mampu bersuara selama bertahun-tahun.  

Dari berita yang tersebar di berbagai media online, kita menjadi tahu kalau kasus pemerkosaan di pesantren itu nyata adanya. Bahkan menjadi kasus berulang yang terjadi di pesantren yang berbeda. Nasib para korban kerap tak terperhatikan dan tenggelam ketika kasus sudah tidak menjadi pembicaraan publik.

Tahukah Anda, ada fakta menyedihkan diungkap laporan Komnas Perempuan per 27 Oktober 2021. Dalam rentang waktu 2015-2020, 51 aduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, dengan rincian; urutan tertingi pertama kasus kekerasan seksual di universitas paling banyak sekitar 27 persen.  Kasus dengan uruatan kedua yaitu 19 persen terjadi di pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam, sisanya terjadi  sebanyak 15 persen ditingkat SMU/SMK, dan lainnya di tingkat TK, SD, SLB, SMP, dan lembaga pendidikan berbasis agama Kristen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun