Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Membaca Bambu Mengungkap Makna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Menjaga Keberagaman dan Toleransi dari Spirit Lagu Rhoma Irama

28 Oktober 2016   17:28 Diperbarui: 28 Oktober 2016   23:56 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih dalam spirit Hari Sumpah Pemuda. Membicarakan kembali soal keberagaman, toleransi, dan menghargai perbedaan, saya selalu –mudah-mudahan kita semua – diingatkan oleh dua lagu nyanyian si raja dangdut Rhoma Irama, berjudul “135 Juta” dan “Stop”.

Meski bukan fans beratnya, saya sangat menyukai lagu-lagunya Rhoma Irama, yang lirik lagunya banyak menyuarakan syiar atau pesan moral dan kebajikan, untuk menjauhkan diri penggemarnya dari kesesatan dan kemungkaran. Termasuk di dua lagu tersebut,  “135 Juta” dan “Stop”.

Saya menganggap kedua lagu itu begitu dasyat yang terlahir dari sebuah hasil perenungan proses kreatif seorang seniman musik dangdut sekaliber Rhoma Irama yang juga dikenal sebagai seorang ulama dan mubaliq yang bicara tentang visi kebangsaan.

Lewat repertoar lagu ini kita banyak mendapatkan pelajaran dan pembelajaran berharga dari Bang Haji, dalam hal kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan berdemokrasi, termasuk dalam hal ini bagaimana belajar menjaga keberagaman, tolerasi, dan menghargai perbedaan yang disampaikan lewat pesan di kedua lagu tersebut, itu keren.

Kenapa itu keren. Bahwa kedasyatan sebuah lagu gemanya mengatasi ruang waktu yang bisa melebihi kekuatan kotbah atau pidato politik juru kampanye sekalipun. 

Lewat nyanyian lagu “135 Juta” yang dirilis tahun 1977, bagaimana Bang Haji sudah mengajarkan kepada kita mengenai arti dan makna multikulturalisme, dan apa itu Bhinneka Tunggal Ika yang tak lain adalah semboyan bangsa Indonesia, itulah Indonesia.

Lewat lagu ini, Bang Haji juga mengajarkan spirit toleransi dan menghargai perbedaan kepada kita bahwa sebagai bangsa multikultural yang terdiri dari banyak suku, bahasa, dan bermacam-macam aliran keyakinan dan kepercayaan agama, janganlah saling menghina, itulah Indonesia.

Kalimat ‘janganlah saling menghina’ adalah sikap pengakuan bukan hanya janganlah saling menghina, tapi juga lebih luas lagi bagaimana di antara kita saling menghormati dan menghargai satu sama lain sebagai warga masyarakat yang hidup dalam masyarakat multikultural.

Termasuk juga bagaimana saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain untuk mengaktualisasikan diri dalam aspek kehidupan, termasuk dalam menyalurkan aspirasi hak berpolitik yang diakui dan dijamin hukum perundang-undangan. Termasuk bertoleransi dalam kehidupan keberagamaan sesuai keyakinan dan kerpercayaan. Inti dari semua itu bagaimana kemudian menjadikan dinamika keragaman perbedaan ini sebagai rahmat.

Penggunaan isu sentimen primodialisme kesukuan dan keagamaan inipun sering secara sengaja dijadikan senjata dipolitisir untuk kepentingan pragmatis jelas adalah bentuk pengingkaran dan pelecehan terhadap pengakuan atas spirit dendang nyanyian multikulturalisme “135 Juta”.

Bahkan bukan tidak mungkin ada pula yang memanfaatkan isu berbau SARA ini sengaja digulirkan dijadikan senjata politik untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin memancing di air keruh untuk mendulang keuntungan dengan menebar horor kebencian lewat sensitivitas isu-isu politik primodialisme berbasis sentimen kesukuan dan keagamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun