Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Membaca Bambu Mengungkap Makna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Ora Ono Kamulyan Tanpo Seduluran"

15 Mei 2018   08:00 Diperbarui: 15 Mei 2018   08:00 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
#SelamatkanIndonesia (visual dok. Alex Palit)

Benarkah kita yang secara histori kultural dikenal sebagai bangsa yang bermartabat ramah, penuh welas asih, penuh toleransi, santun, guyub saling menghargai dan menghormati sebagaimana dari cerita yang ada, kini sudah kehilangan kemesraan sosial?

Adakah kini yang salah dengan kita dalam memahami sejarah panjang kehidupan bangsa ini?

Sudah retakkah kemesraan sosial kita? Bagaimana kita saksikan sebuah tragedi kemanusiaan atas nama keyakinan ideologi yang dianutnya orang kehilangan akal sehatnya melakukan penyerangan dan pembunuhan dengan melakukan tindakan peledakan bom bunuh diri pada tiga gereja dan Mapolrestabes -- Surabaya yang mengakibatkan korban nyawa dan luka orang-orang tak bersalah dan tak berdosa olehnya.

Tak kalah ironisnya -- juga di luar akal sehat -- sang pelaku peledakan bom bunuh diri inipun menyertakan anaknya dijadikan tumbal keyakinan ideologinya.

Ataukah ini hanyalah kegagalan para pelaku teroris yang gagal paham atau salah paham dalam memahami keyakinan ideologi yang dianutnya?

Ataukah ini hanyalah merupakan kegagalan diri dalam memahami sejarah panjang histori kultural kebangsaan kita?

Sebagaimana cerita yang ada, Indonesia yang secara histori kultural digambarkan sebagai bangsa yang ramah, selalu hidup guyub rukun harmonis, penuh toleransi saling menghormati dan menghargai yang disemangati oleh warisan kearifan budaya leluhur nenek moyang ora ono kamulyan tanpo seduluran sebagai perekat kemesraan sosial.

Kini harmonisasi kemesraan sosial ini diteror tindak kekerasan, dipersekusi, bahkan di bom, oleh radikalisasi fanatisme atas nama pembenaran keyakinan ideologis yang dianutnya.

Bagaimana pula hari ini kita saksikan, hanya lantaran beda pandangan, beda pendapat, beda pilihan politik seperti pada saat jelang gelaran pilkada atau pilpres, kita pun saling tebar serangan ujaran kebencian (hate speech) antar kubu pendukung. Dan kita pun terpolarisasi dan terbelah olehnya.

Termasuk bagaimana kita saksikan tontonan kekerasan-kekerasan sosial yang dipicu politisasi  bernuansa keagamaan atau politik SARA. Celakanya kemunculan politik SARA ini justru terendus dihembuskan demi kepentingan politik pragmatis.

Sebagai pendukung gerakan moral #SelamatkanIndonesia yang bersemangatkan bhinneka tunggal ika dan NKRI harga mati, saya bukan anti #Salam2Periode, saya bukan anti #2019GantiPresiden, tapi saya #AntiKekerasan, #AntiRadikalisme, #AntiIntoleransi, dan menentang #PolitikSARA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun