Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nabire Punya Kisah

16 Maret 2016   19:29 Diperbarui: 16 Maret 2016   19:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, 4 Maret 2016, cuaca cerah menyelimuti kota Jayapura. Pukul 06.15 WIT, mas Ibra menjemput saya di Abepura. Dari Abepura, kami menuju Perumnas 3 Waena untuk menjemput abang Hardin Halidin, direktur Ilalang Papua. Selanjutnya, kami menuju bandara Sentani. Kami akan melakukan perjalanan ke Nabire untuk mengikuti kegiatan, “Monitoring Evaluasi dan Stategic Planning-Konferensi Jaringan Pimpinan Agama-Agama di Papua,” yang dilaksanakan oleh Interfidei/Institut DIAN Yogyakarta pada 5-8 Maret 2015, di aula kantor Kesbangpol kabupaten Nabire. 

Pukul 07.03 WIT, kami tiba di bandara Sentani. Kami segera masuk ke dalam ruang keberangkatan dan melapor di bagian boarding wings air. Banyak penumpang sehingga kami harus menunggu lama. Sesudah itu, kami menuju ruang tunggu. Pukul 10.30 WIT kami terbang menuju Nabire. Ini adalah pertama kali saya ke Nabire. Sembilan puluh menit kemudian, kami tiba di Nabire. 

Di bandara Nabire, Pdt. Junus Mbaubedari dan Pdt. Mordekhai Oilla menjemput kami. Keduanya adalah pengurus FKUB kabupaten Nabire. Adalah om Beny yang diminta untuk mengantar  kami ke tempat penginapan di hotel Nusantara. “Selama bapa mereka kegitan di Nabire, nanti saya yang antar jemput bapa-bapa. Pendeta Junus yang minta,” kata om Beny. Selanjutnya, kami ke hotel Nusantara. Saya dan abang Hardin di kamar nomor 601 dan bapa Hardus Desa di kamar nomor 602. 

Setelah menyimpan barang dan istirahat sejenak, kami pergi makan di warung konro bakar. Om Benny mengatar kami ke sana. Menurut Bapa Hardus, warung ini memiliki konro bakar yang enak. Saya dan Bapa Hardus pesan konro bakar. Abang Hardin pesan ikan bakar. Saya cukup menikmati konro itu. Demikian juga Bapa Hardus. Sayangnya, abang Hardin makan sedikit saja, karena ikannya sudah membusuk. “Ikannya sudah lama. Tidak enak,” ungkapnya. Padahal ikan bakar itu seharga Rp 90.000. Setelah makan, saya ke kasir untuk bayar sekaligus membeli air mineral. Saat itu baru saya tahu bahwa harga satu botol aqua 600 ml adalah Rp 5.000. 

Pukul 13.55 WIT, kami melakukan pertemuan dengan kepala kantor kementerian agama kabupaten Nabire, Bapa Reki Lumentah. Kami duduk santai di depan kamar hotel sambil berbagi pengalaman. Bapa Reki menjelaskan kondisi terkini kota Nabire. Bahwa kini, Nabire didominasi oleh kaum pendatang. “Penduduk Nabire sekitar 130 ribu jiwa, 80%-nya orang pendatang. Di Nabire ada 25 denominasi gereja yang sudah terdaftar. Ada dua denominasi yang sedang dalam proses pendaftaran,” ungkapnya. 

Bapa Reki juga menjelaskan bahwa permasalahan mendasar di Nabire sekarang adalah masalah minuman keras (miras). Terkait kerukunan umat beragama, ia menjelaskan bahwa FKUB sangat aktif mempromosikan kerukunan hidup umat beragama di Nabire. Ia menyampaikan bahwa ke depan pihaknya berupaya supaya ada FKUB di tingkat distrik.

Usai berbincang dengan Bapa Reki, kami beristirahat, kecuali abang Hardin yang masih merancang spanduk kegiatan strategic planning perjumpaan pemimpin agama-agama di tanah Papua. 

Malam hari kami pergi makan. Kami berkeliling kota Nabire mencari rumah makan yang bagus. Kami masuk ke salah satu rumah makan. Kami mau makan ikan bakar. Saat kami lihat, ikannya sudah lama, sudah tidak segar. Kami ke rumah makan lain. Saat kami lihat menu dan cek harga ikan, ternyata sangat mahal. Ikan merah sedang satu ekor Rp 250.000. Akhirnya, kami memilih makanan biasa, mie dan nasi capcai, ditemani jus jeruk tanpa gula. Setelah makan, om Beny mengantar kami ke hotel Nusantara.

Kesan pertama saya saat tiba di Nabire adalah “kota tua yang tidak terawat”. Dalam tatakelola pemerintahan, Nabire secara resmi menjadi kabupaten daerah tingkat II pada tahun 1996. Tetapi, Nabire sebagai pos pembangunan sudah dimulai sejak tahun 1966, dengan pimpinan pertamanya, Soerodjotanojo. Ironisnya, setelah sekian puluh tahun menjadi pusat pemerintahan, Nabire belum mengalami kemajuan berarti. Bahkan Nabire tidak terawat. Rumput liar tumbuh tinggi di tengah kota Nabire. Sampah berserakan di tengah kota Nabire. Pasar tempat transaksi ekonomi sangat memprihatinkan karena dikelilingi tumpukan sampah. 

Kini, Nabire menjadi kota transit. Daerah Paniai, Dogiay, Waghete, Intan Jaya sebelum keluar ke Jayapura atau daerah lainnya pasti singgah di Nabire. Sayangnya, Nabire belum banyak berbenah. Sekilas kota Nabire tampak kumuh dan tidak terawat. Kita berharap bupati dan wakil bupati terpilih Isaias Douw dan Amirullah Hasyim, yang dilantik pada 17 Februari 2016 silam bisa membawa perubahan bagi Nabire. Semoga kebijakan pembangunan yang diterapkan bisa menyentuh kebutuhan masyarakat Nabire sekaligus menata kota Nabire menjadi kota yang Nyaman, Aman, Bersih, Indah, Ramah dan Elok sebagaimana namanya Nabire. 

Saya masih optimis bahwa ke depan kabupaten Nabire akan berbenah menjadi lebih baik. Semua harapan itu dapat terwujud kalau pemerintah daerah, khususnya bupati, wakil bupati, pimpinan SKPD dan DPRD kabupaten Nabire memiliki komitmen untuk bekerja serius dan jujur dalam melayani masyarakat. Mereka harus menjadi pelayan masyarakat yang siap melayani. Mereka harus rajin turun ke kampung-kampung melihat kondisi masyarakat dan membuat kebijakan pembagunan yang tepat untuk masyarakat. Secara khusus, mereka harus membuka mata dan menata kota Nabire supaya menjadi kota yang bersih dan indah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun