"Papua membutuhkan hati yang peduli, bukan sekedar anggaran (uang) dan proyek!"
Di beberapa kesempatan, kawan-kawan yang berasal dari luar Papua mengajukan pertanyaan, "Mengapa orang asli Papua (OAP) berjuang untuk merdeka? Mengapa OAP tertinggal? Mengapa anak-anak OAP sudah SMP dan SMA belum bisa baca, tulis dan berhitung? Dan, masih banyak pertanyaan lainnya. Pertanyaan itu wajar, karena situasi hidup OAP tidak sebaik wilayah lain di Indonesia dan tanah Papua lebih sering bergejolak.
Narasi tentang Papua cenderung mengalir dari kenangan akan penderitaan (memoria passionis). Sebuah kenyataan yang memperlihatkan OAP menderita di semua aspek kehidupan: ekonomi, pendidikan, kesehatan, adat, budaya. Penderitaan itu terjadi bukan karena OAP malas, bukan bersifat individual, melainkan struktur dan sistem yang terbangun di Papua tidak memberikan ruang lebih luas kepada OAP untuk mengelola hidupnya, dirinya dan masa depannya.
Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia memberikan Ototnomi Khusus (Otsus) kepada Papua. Tetapi, UU Otsus, hanya sekedar Undang-Undang tanpa upaya nyata memberikan perlindungan intensif pada OAP. Maka, tidak heran, pada tahun 2021, pada peringatan 20 tahun Otsus, ada gerakan tolak Otsus. Karena, selama 20 tahun Otsus tidak berdampak signifikan pada perbaikan kualitas hidup OAP.
Pada tahun 2022, pemerintah dan DPR RI melakukan revisi UU Otsus. Hasilnya, pemekaran empat Daerah Otonomi Baru (DOB): Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya. Harapannya, melalui DOB ini, OAP semakin mengalami sentuhan pembangunan. Â
Hati yang Peduli pada Papua
Sejarah mencatat, sejak dintegrasikan ke dalam rumah NKRI, melalui PEPERA 1969, sampai saat ini Papua terus bergejolak. Aksi demonstrasi, penembakan, penyanderaan, pembakaran masih berlanjut di atas tanah Papua.
Lebih memprihatinkan, nasionalisme Indonesia di Papua semakin meredup. OAP tidak merasa sebagai orang Indonesia. "Kami Papua, bukan Indonesia!" Tidak jarang, putra-putri Nusantara yang lahir besar di tanah Papua, lebih merasa sebagai "orang Papua" ketimbang Indonesia. Tampak bahwa nasionalisme Indonesia di tanah Papua berada di ambang kehancurannya.
Mengapa pemerintah Indonesia sangat gencar membangun tanah Papua, tetapi OAP tidak merasa memiliki Indonesia? Selain fakta sejarah Papua, ideologi dan politik Papua, ada pengalalam empiris yang selalu terulang, yaitu diskriminasi, stigma dan rasis yang dialamatkan kepada OAP. Nyanyian penderitaan, senantiasa melingkupi hidup OAP.
Kenyataan memperlihatkan OAP memiliki sumber daya alam (SDA) yang luar biasa kaya, tetapi bagaimana kondisi pendidikan, layanan kesehatan, dan ekonomi OAP? Tidak perlu ke kampung-kampung pinggiran. Lihatlah di kota-kota, di ibu kota kabupaten, di ibu kota distrik (kecamatan), bagaimana kondisi hidup OAP di sana? Apa lagi di kampung terpencil?
Catatan-catatan, data-data, terkait situasi hidup OAP tidak sedikit, tetapi mengapa program pembangunan jarang menyentuh kebutuhan hidup OAP? Kalau program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah sudah menyentuh OAP mengapa sejak 1969 sampai saat ini OAP terkapar? Apa yang sedang keliru dalam penerapan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Papua selama ini?