Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanti Datangnya Sang Gembala Baik di Keuskupan Agung Merauke

30 Maret 2020   10:45 Diperbarui: 30 Maret 2020   10:45 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sejarah perjalanan Gereja Katolik, umat selalu menghayati bahwa seorang Uskup mengambil bagian penuh dalam seluruh tugas dan perutusan Tuhan Yesus Kristus. Ia menjadi gembala utama kawanan domba Gereja lokal sebagaimana amanat Yesus kepada Petrus, "Gembalakanlah domba-domba-Ku," (Yohanes 21:15-23). Yesus mengajukan permintaan itu sampai tiga kali.

Seperti Paus di Roma, yang meneruskan amanat Yesus itu melalui simbol takhta Santo Petrus, demikian halnya, para Uskup mengemban misi yang sama di setiap keuskupan di seluruh dunia, termasuk di Keuskupan Agung Merauke.

Seorang Uskup harus memiliki hati sama seperti Tuhan Yesus, yang berbelas kasih kepada kawanan domba yang digembalakannya. Hati seorang Uskup harus diliputi belas kasih, pengampunan, rendah hati dan peka terhadap kebutuhan domba-dombanya. Penginjil Markus menuliskannya dengan sangat baik, "Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak memiliki gembala. Lalu, mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka," (Markus 6:34).

Rasul Petrus sendiri telah menasihati para penatua selaku gembala untuk senantiasa mengendepankan keteladanan hidup bagi kawanan domba. "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu," (1 Petrus 5:3).

Seorang Uskup, perlu hadir sebagai gembala yang selalu gelisah dan mencari saat ada dombanya yang hilang atau seperti seorang Bapa yang maharahim, yang senantiasa menanti anaknya yang hilang (telah berdosa) untuk kembali ke rumah (Bdk.Lukas 15:1-7; 11-32). Bahkan, apabila keadaan menuntutnya, ia bahkan wajib meneladan Tuhan Yesus untuk menyerahkan dirinya demi keselamatan kawanan dombanya.

"Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya," (Yohanes 10:11). Seorang Uskup pada dirinya sejak ditahbiskan memikul tanggungjawab kemartiran, entah nyawa harus menjadi taruhannya seperti Uskup Agung San Salvador, Oscar Adolfo Romero atau kemartiran dalam wujudnya yang lain, menjalankan silih bagi kerapuhan kawanan dombanya.

Dalam konteks Papua, Keuskupan Agung Merauke merupakan keuskupan tertua di Papua. Wilayah pelayanan luas, meliputi kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi. Jumlah umat mencapai ratusan ribu tersebar secara tidak merata di perkotaan sampai di wilayah pedalaman yang hanya dapat dijangkau dengan pesawat, mobil, motor, speed boat dan perahu. Selain itu, dari sisi kehidupan sosial umat Katolik, terutama orang asli Papua sedang menghadapi berbagai permasalahan seperti keterbatasan pelayanan pendidikan, kesehatan, ekonomi, perusakan hutan, arus imigrasi dan lain sebagainya.

Wilayah pelayanan Keuskupan Agung Merauke yang menantang, baik dari sisi geografis maupun kehidupan sosial dan budaya umat Allah, terutama orang asli Papua yang tinggal di daerah pedalaman, membutuhkan figur Uskup yang benar-benar hadir sebagai "Gembala yang Baik" (Yohanes 10). Ia harus sungguh-sungguh hadir sebagai "pembawa hidup" supaya kawanan domba menjadi lebih hidup: sehat, gemuk, ceriah, bisa sekolah, bisa berobat, bisa makan dan minum secara memadai. Kehadirannya, harus membuat kawanan domba merasa disapa bahkan dipeluk dengan erat. Kawanan domba merasakan kehangatan kasih sayang dan cinta gembalanya bagi mereka. Hanya dengan cara demikian, kawanan domba akan merasakan kehadiran sang gembala di tengah-tengah kehidupan mereka.

Secara khusus, kawanan domba, umat Allah orang asli Papua yang tinggal di pelosok Merauke, Boven Digoel dan Mappi mengharapkan suara kenabian gembalanya tatkala mereka tidak bisa sekolah, tidak bisa berobat dan tidak bisa mencari makanan lantaran hutan telah dicaplok oleh pengusaha perkebunan kelapa sawit  dan lain sebagainya.

Penderitaan kawanan domba harus menggerakan hati Uskup untuk peduli dan mau bersuara membela domba-dombanya itu. Sebagai gembala utama, Uskup tidak boleh diam tatkala menyaksikan kawanan dombannya tidak bisa sekolah karena gedung sekolah rusak dan guru-guru tidak ada; domba-domba mati lebih cepat karena tidak ada gedung Pustu dan petugas kesehatan di kampung-kampung; domba-domba lapar karena sumber makanan sudah hilang akibat konversi hutan dengan perkebunan kelapa sawit dan lain-lain.

Saat ini, kawanan domba, umat Allah di Keuskupan Agung Merauke sedang menanti datangnya "Gembala yang Baik" itu. Gembala yang mau masuk ke dalam kandang dan tinggal bersama domba-dombanya. Gembala yang mau belajar mengenal dan peduli pada setiap penderitaan, dukacita dan kecemasan kawanan dombanya dan lekas menanggapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun