Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Papua Bukan Tanah Kosong", Upaya Mencari Keadilan untuk Orang Papua

15 November 2019   16:19 Diperbarui: 15 November 2019   16:23 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana diskusi buku (Dok. pribadi)

Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua sepanjang tahun 2018 mengikuti perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) orang Papua dari jarak dekat. Berbagai situasi HAM orang Papua, baik di bidang Sipil Politik (Sipol) maupun Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob) dan Ekologi didokumentasikan dalam buku Seri Memoria Passionis No.37 Tahun 2018: "Papua Bukan Tanah Kosong". Buku tersebut berisi tragedi buruk di bidang kesehatan di kabupaten Asmat, konflik bersenjata di Tanah Ndugama, kabupaten Nduga. Ruang demokrasi yang terus dibungkam, warga dan aktivis menghadapi ancaman teror, intimidasi dan penangkapan.

Buku tersebut juga berisi narasi alam Papua yang semakin memprihatinkan. Hutan dan tanah, tempat tinggal dan sumber kehidupan mengalami penghancuran karena kekuasaan, uang dan kepentingan golongan. Tanah dan hutan Papua dijadikan lahan bisnis, termasuk dalam proyek pembangunan infrastruktur oleh Negara.

Selain itu, persoalan baru yang muncul adalah kehadiran kelompok radikalisme agama di Tanah Papua. Benih-benih konflik yang digiring ke konflik berbau SARA mulai tumbuh di tanah Papua. Munculnya Jafar Umar Thalib (JUT), Almarhum dan kelompoknya yang sengaja 'dipelihara' di tanah Papua sepertinya akan menambah benih konflik. 

Dari peristiwa dan situasi hak asasi manusia tersebut yang terdokumentasi dan terpublikasi dalam laporan Seri Memoria Passionis No.37: "Papua Bukan Tanah Kosong," yang diterbitkan Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP) dan diluncurkan bersama-sama dengan organisasi VIVAT Indonesia dan JPIC OFM Indonesia.

Acara peluncuran tersebut berlangsung di Gedung Tempo Palmerah Barat, Nomor 8, Lantai V, Jakarta Selatan. Dalam diskusi dan peluncuran buku, "Papua Bukan Tanah Kosong" tersebut dihadiri oleh para aktivis dan pemerhati Papua. Sedangkan pembicara adalah Cahyo Pamungkas dari LIPI, Beka Ulung Hapsara dari Komisioner Komnas HAM, Yuliana Langowuyo, Direktur SKPKC Fransiskan Papua. Sedangkan moderator adalah Maria Rita Hasugian dari wartawan Tempo.

Pada kesempatan peluncuran dan diskusi buku "Papua Bukan Tanah Kosong" tersebut, para Pegiat Hak Asasi Manusia Papua mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:

Pertama, kami, para Pegiat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Gereja Katolik, memiliki Keprihatinan mendalam terhadap situasi pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua yang berlangsung secara masif; tragedi kemanusiaan Asmat dan Nduga (gizi buruk, kelaparan, konflik bersenjata dan pengungsian) dan penghacuran eksploitatif terhadap alam serta timbulnya kelompok yang menebar benih-benih radikalisme di tanah Papua. Duka dan kecemasan rakyat Papua, jeritan dan tangisan alam Papua adalah duka dan kecemasan, jeritan dan tangisan komunitas Gereja-Gereja Papua.

Kedua, membela tanah, mempertahankan hidup orang asli Papua. Bagi orang-orang asli Papua, tanah dan hutan adalah 'mama' yang menjaga alam dan menopang kehidupan bangsa Papua. Kondisi hutan Papua saat ini semakin rusak dan tanah-tanah milik masyarakat adat dan orang-orang asli Papua banyak dikuasai oleh para pendatang dan perusahan-perusahaan kapitalis membuat kehidupan masyarakat Asli Papua semakin terancam dan tersingkir. Mempertahankan tanah dan menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup adalah upaya mempertahankan kelangsungan hidup orang-orang asli papua di tanah Papua.

Ketiga, membela hak asasi, menegakan martabat manusia. Buku "Papua Bukan Tanah Kosong" mencatat dan menarasikan berbagai perisitiwa dan fakta pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua. Pembungkaman kebebasan berpendapat di muka umum, penangkapan dan kriminalisasi terhadap para pegiat pro-demokrasi dan demo damai, pembunuhan ilegal di luar hukum (extra-judicial killing), kekerasan militeristik adalah beberapa contoh dari pelanggaran HAM di tanah Papua yang terus terjadi secara masif dan struktural.

Kami menyerukan, tindakan kriminalisasi terhadap para aktivis pro-demokrasi dan pembela HAM segara dihentikan; yang ada dalam tanahan dan jeruji besi dibebaskan; martabat manusia harus ditegakkan dan hak-hak asasi manusia di tanah Papua harus dihormati, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan perjanjian hukum internasional.

Hentikan praktik bio-piracy, yaitu eksploitasi komersial atas sumber daya alam masyarakat adat, yang masih terus terjadi di tanah Papua. Suatu ironi karena itu dilaksanakan atas nama 'pembangunan.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun