Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perayaan 114 Tahun Gereja Katolik Papua Selatan, Uskup Mandagi Serukan Pentingnya Membangun Persaudaraan

18 Agustus 2019   13:35 Diperbarui: 18 Agustus 2019   13:38 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC bersama para imam, tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah kabupaten Merauke. Dok. Pribadi

"Kita bersyukur karena Tuhan telah hadir di Papua Selatan ini selama 114 tahun. Memang Tuhan sudah hadir sebelum agama Katolik hadir di sini, melalui alam Papua yang indah. Karena itu, jangan merusak alam Papua ini. Tuhan hadir juga melalui manusia-manusia Papua yang menarik dan indah. Tuhan hadir juga melalui budaya Papua yang bagus. Tetapi, secara istimewa dan hari ini kita syukuri, Tuhan hadir melalui agama Katolik; Melalui misionaris-misionaris MSC yang datang di sini," tutur Uskup Keuskupan Amboina, sekaligus administrator apostolik Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC, pada Rabu, (14/08/2019).

Cuaca cerah mewarnai kompleks taman ziarah Hati Kudus Yesus, Merauke. Ribuan umat Katolik menghadiri perayaan 114 tahun Gereja Katolik (di) Papua Selatan. Perayaan kali ini menjadi istimewa dengan hadirnya, administrator apostolik Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. Ia baru saja diangkat oleh Paus Fransiskus setelah sebelumnya, Mgr. John Philip Saklil yang hanya menjabat selama tujuh hari kemudian meninggal dunia secara mendadak pada Sabtu, 3 Agustus 2019 di Timika.

Suasana umat di taman ziarah Hati Kudus Yesus bagaikan kawanan domba yang baru saja menemukan tuannya. Keriduan umat Katolik Merauke terhadap gembala yang baik terjawab. Uskup Mandagi dengan gaya yang unik menyapa umat yang hadir dengan seyum yang tak pernah lekang oleh usianya yang beranjak usur. Ia sosok gembala yang selama ini dirindukan oleh umat Katolik Keuskupan Agung Merauke.

Dalam khotbahnya, pada perayaan 114 tahun Gereja Katolik masuk di Merauke, ia mengajak segenap umat dan warga masyarakat di Merauke untuk bersyukur kepada Tuhan, membangun persaudaraan, menghidupi budaya cinta dan pengampunan. Ia juga mengajak umat Katolik Keuskupan Agung Merauke untuk mewujudkan kehadiran Tuhan melalui tindakan nyata memberi dan rela berkorban serta menjauhkan diri dari berbagai sikap dan tindakan kekerasan.

"Pilpres sudah selesai. Memang masih ada orang suka berkelai lagi. Pemilihan anggota DPRD sudah selesai, yang tidak dapat kursi mulai mati pelan-pelan. Dikatakan ada 500 anggota KPPS meninggal dan ada tuduhan oleh segerombolan orang [bahwa] itu karena diracuni. Saling menuduh, bukan madu yang ada tapi racun. Mgr. Saklil juga meninggal ada yang tuduh dia diracuni, harus ada proses. Begitulah budaya kekerasan semakin mewarnai Negara kita, bahkan seringkali Gereja kita, bukan budaya cinta [melainkan] saling menuduh, saling mempersalahkan, saling merendahkan, saling mengecualikan," tuturnya.

Uskup Keuskupan Amboina, Maluku ini mengatakan bahwa, "114 tahun Tuhan telah hadir melalui agama Katolik di Papua Selatan. Pantas pada kesempatan ini, kita bertanya: sudahkah budaya cinta mewarnai Papua Selatan ini sebagai tanda kehadiran Tuhan? Ataukah sudah 114 tahun, tapi berkelahi, dendam, fitnah dan seterusnya?"

Ia meneruskan. "Saudara/i sekalian yang sangat kami kasihi. Perayaan ini merupakan kesempatan kita bersyukur kepada Tuhan, karena melalui agama Katolik Tuhan secara istimewa berkenan hadir di Papua Selatan. Kita bangga sebagai orang Katolik [karena] menjadi sarana Tuhan untuk hadir. Agama sebagai alat/sarana Tuhan untuk hadir. Memang tidak jarang, orang bilang beragama, tapi kafir, setan yang ada, bukan Tuhan. Teriak-teriak: alleluia, puji Tuhan, tapi sesudah itu fitnah [dan] berkelahi."

"Kita bersyukur karena Tuhan telah hadir di Papua Selatan ini selama 114 tahun. Memang Tuhan sudah hadir sebelum agama Katolik hadir di sini, melalui alam Papua yang indah, tanda kehadiran Tuhan. Karena itu, jangan rusakkan alam Papua ini. Jadi, kita antar ini, investor-investor yang merusak alam Papua ini. Tuhan hadir juga melalui manusia-manusia Papua yang menarik dan indah. Tuhan hadir juga melalui budaya Papua yang bagus. Tetapi, secara istimewa dan hari ini kita syukuri, Tuhan hadir melalui agama Katolik. Melalui misionaris-misionaris MSC yang datang di sini-bukan karena saya MSC. Kita pantas berterima kasih kepada MSC. Maaf, Mgr. Subianto bukan OSC tapi MSC. Kita bersyukur. Terima kasih kepada MSC. Luar biasa."

"Saudara-saudari sekalian, sudah 114 tahun Tuhan hadir di Papua melalui agama Katolik. Tetapi, mana tanda-tanda kehadiran Tuhan itu? Jangan kita mengatakan Tuhan sudah hadir, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Tuhan. Tanda kehadiran Tuhan yang pertama ialah persaudaraan (koinonia). Dimana ada persaudaraan, di sana ada Tuhan.

Tadi kita dengar dalam Injil, digarisbawahi tentang persaudaraan. Saling menegur dengan baik, bukan menegur untuk menghancurkan. Persaudaraan, itu tanda kehadiran Tuhan dan saya rasa di Keuskupan Agung Merauke ini sudah ada persaudaraan. Luar biasa. Kita lihat hari ini, ada persaudaraan-tentu saja-di antara umat, tanpa membedakan suku, tanpa aliran politik, tanpa membedakan gender, tanpa membedakan status.

Sudah ada persaudaraan di sini. Juga ada persaudaraan antar para imam. Saya lihat imam-imam yang di depan ini, semua muka senyum, bukan muka papan, bersaudara, tidak berkelahi, ini tanda Tuhan hadir. Juga persaudaraan antara Gereja dan pemerintah. Hadir di sini, para pejabat pemerintah. Luar biasa. Persaudaraan itu tanda kehadiran Tuhan (koinonia). Walaupun barangkali kita miskin; kita tidak terpandang; kita tidak punya gelar-gelar. Kita barangkali sering dilupakan, tetapi hadirnya Tuhan lewat persaudaraan. Kita akan dinilai oleh Tuhan, benarkah 114 tahun Tuhan telah hadir di sini, itu dilihat dari persaudaraan."

Uskup Mandagi juga mengatakan bahwa, "Tanda kehadiran Tuhan juga yakni perayaan liturgi yang dirayakan dimana-mana, doa dimana-mana. Tadi saya lihat ziarah luar biasa orang Papua Selatan. Salam dari umat Muluku untuk di sini. Perayaan, doa, ziarah, luar biasa, tanda Tuhan hadir di sini. Syukur semakin banyak imam yang bisa merayakan ekaristi dimana-mana, bisa memimpin doa di mana-mana, karena kehadiran imam terlebih untuk merayakan Ekaristi, bukan untuk mengumpulkan uang, bukan untuk proyek-proyek, banyak imam yang sudah jatuh begitu; sudah muka duit semua. Tapi, imam merayakan Ekaristi, tanda kehadiran Tuhan. Bersyukurlah ada perayaan-perayaan dimana-mana."

Ia meneruskan bahwa , "Juga tanda kehadiran Tuhan yang sudah ada di Keuskupan Agung Merauke ini ialah banyak orang Katolik yang baik, yang memberi kesaksian hidup yang baik, menjadi pewarta lewat kata-kata dan perbuatan. Kita boleh bangga, keluarga-keluarga, mereka setia dalam hidup perkawinan. Walaupun banyak masalah dan tantangan, tidak berselingkuh, tidak mata keranjang, tapi setia memberi kesaksian sebagai awam di dalam keluarga; banyak juga pejabat-pejabat politik yang bagus, yang baik, yang tidak mencari duit demi jabatan, tetapi Katolik, sederhana. Ini mewartakan adalah tanda kehadiran Tuhan, sebagai imam, biarawan/i, awam di dalam lingkungan kerja dan keluarga. Luar biasa. Sudah ada di sini."

"Tanda kehadiran Tuhan juga ialah orang suka berkorban, tidak cinta diri. Santo Maximilian Kolbe yang kita rayakan hari ini menyatakan apa arti pengorbanan demi sesama. Saya lihat, Anda juga berkorban mungkin sekarang sudah lapar, sudah keroncongan, tapi datang, berkorban, demi cinta kepada Tuhan, menjadi martir-martir dewasa ini, menjadi saksi-saksi [yang] berkorban dewasa ini, kita butuh di zaman sekarang, saksi-saksi Katolik yang berkorban, entah awam, imam dan biarawan/i."

"Tanda kehadiran Tuhan melalui agama Katolik yakni suka berbagi, suka memberi, pasti di sini, umat di sini, suka memberi, pasti kolekte-kolekte lebih banyak daripada di Maluku. Tidak tahu sebentar, jangan sampai piring-piring hanya lewat/loncat, tidak ada yang memberi. Tapi sudah kentara, orang suka berbagi, suka menolong, ini tanda Tuhan hadir. Kita boleh bersyukur sudah 114 tahun, Gereja Katolik hadir di sini. Dengan hadirnya Gereja Katolik, Tuhan itu ada; Tuhan hadir dalam tanda-tanda konkret seperti yang saya sebutkan tadi."

"Saudara-saudara sekalian, mungkin ini juga kesempatan, merayakan 114 tahun ini, kita bertanya lagi, sudah sejauh mana Tuhan hadir di wilayah ini? Sudah sejauh mana agama Katolik itu relevan dan signifikan? Pernah dalam sebuah pertemuan KWI dan umat, ada seorang Pendeta bagus, dia menantang umat Katolik dan para Uskup, sungguhkah Gereja itu masih signifikan dan relevan atau tidak lagi? Kita juga bertanya, sudah 114 tahun masihkah Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke relevan dan signifikan utnuk masyarakat Papua?"

"Memang sudah ada persaudaraan, tapi seringkali, persaudaraan masih diwarnai dengan budaya kekerasan, fitnah, terjadi pembelahan, muncul grup-grup dimana-mana, pro Uskup, anti Uskup; pro Pastor, anti Pastor, lama-lama Uskup Mandagi datang juga ada pro dan kontra. Tapi, yang mengerikan selalu-maaf-, saya bilang saja, persaudaraan hancur, tidak jarang karena para imam yang tidak betul: tidak masuk Misa, tidak sembahyang, penampilan seperti preman dan sebagainya. Akhirnya, umat terbelah. Padahal umat itu baik sekali. Percaya sama saya. Saya lihat umat baik sekali. Umat di Maluku baik sekali. Umat di sini, pasti baik sekali. Tapi, tidak jarang mengerikan, karena para imam yang tidak betul. Semoga di sini tidak! Kita tepuk tangan untuk imam-imam yang baik. Tapi, kita tepuk tangan juga untuk imam-imam yang tidak baik!"

"Persaudaraan. Tidak saling curiga. Mau diracuni kah, orang bilang, Uskup hati-hati makan ya, nanti mau diracuni. Saya bilang, saya makan babi dan anjing. Anjing-anjing nanti saya racuni di mulut. Persaudaraan."

"Kita bertanya, bagaimana dengan perayaan-perayaan liturgis di sini? Hanya sekedar perayaan kah? Bagus, menari, menari, menari, tapi efek dalam kehidupan bagaimana? Sekedar simbol saja. Bagaimana Ekaristi menjadi puncak kehidupan kristiani? Dari Ekaristi kita diajak utuk mencintai [dan] berkorban. Kita berdoa, berdoa, bagus; umat suka berdoa bagus, tapi sesudah berdoa, berkelahi. Sesudah alleluia, puji Tuhan; alluya kafir, berkelahi."

"Juga kita melihat tanda kehadiran Tuhan, sudahkah kita suka berkorban? Atau kita egoistis, tidak berani menjadi martir. Suami dan istri jadilah martir untuk anak-anakmu, berkorban. Betapa anak-anak senang melihat orang tua berkorban, tapi betapa anak-anak benci melihat Bapa dan Mama dari hari Senin sampai hari Minggu berkelahi terus; singa laki-laki dan singa perempuan. Dan muncul juga singa-singa kecil: mabuk, Bapa mabuk. Mama juga mabuk. Mata merah semua. Bagaimana pengorbanan di dalam rumah tangga? Ini sederhana sebagai orang Katolik.

"Apakah kita sudah berbagi? Memberi pada orang lain, atau kita biarkan orang lain menderita? Biarlah dia mati sampai mampus. Padahal, kita orang Katolik, tidak ada rasa belas kasih. Paus Fransiskus sering menggarisbawahi [bahwa] belas kasih adalah inti kekristenan, inti kekatolikan dan salah satu tanda dari belas kasih yang sering dia sebut adalah pengampunan. Tidak ada balas dendam. Seringkali balas dendam menjadi warna kehidupan masyarakat sekarang. Saya kalah tahun ini. Saya tidak dapat kursi. Tunggu saya balas. Saya kalah sebagai bupati, tunggu saya balas. Dan mungkin Pastor-Pastor juga, saya kalah sekarang, nanti kau; kau akan rasa dan sebagainya. Jadi, yang terjadi balas dendam."

"Kita diminta sebagai Gereja, kita suka berbagi, kita menolong orang lain. Kita berikan dari kekurangan kita, bukan dari kekayaan kita, dari kekurangan kita. Seringkali  ada yang mengatakan, Bapa Uskup saya belum kaya. Belum kaya, tapi tiap hari minum mabuk, main perempuan dan main laki-laki juga dan sebagainya. Uang habis. Tidak suka memberi. Mungkin di sini tidak ada, tapi Anda tertawa, pasti ada juga."

"Jadi, saudara-saudara sekalian, perayaan 114 tahun sebuah kesempatan bagi kita untuk bertobat. Melihat hal yang baik, kita teruskan. Tuhan hadir melalui agama Katolik sampai abadi, tetapi kalau ada yang tidak baik, mari kita berubah. Benyamin Franklin, ilmuwan Amerika Serikat berkata, 'berubah memang sulit, tetapi tidak berubah fatal.' Atau Konsili Vatikan II dalam dokumen Lumen Gentium Nomor 7, 'Gereja semper reformanda est semper purificanda' membarui diri, tapi juga memurnikan diri. Semoga demikian. Amin." [Merauke, Rabu, 14 Agustus 2019].

(Tulisan ini merupakan transkip dari khotbah Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC pada perayaan 114 tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke, pada hari Rabu, 14 Agustus 2019 di taman ziarah Hati Kudus Yesus, Merauke_Petrus Pit Supardi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun