Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Tidak Mengajar, SD Inpres Beco Terlantar

16 Agustus 2019   07:36 Diperbarui: 16 Agustus 2019   07:48 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat bersama Pastor Vesto dan pemerintahan kampung Beco. Dokpri.

"Sudah dua tahun lebih ini sekolah sering tutup sehingga kami punya anak-anak tidak bisa belajar dengan baik. Kepala sekolah jarang sekali datang ke Beco. Guru-guru lain juga tidak tinggal di Beco. Mereka datang satu dua minggu, kemudian pergi lagi berbulan-bulan sehingga anak-anak tidak bisa belajar," tutur kepala kampung Beco, Paulus Jemi, pada Rabu, (15-05-2019).

Kampung Beco terletak di tepi sungai Sorep. Perjalanan dari pusat Distrik Akat, Ayam ke Beco memerlukan waktu satu jam menggunakan mesin 40 PK. Warga kampung Beco terdiri atas orang asli Asmat dan pendatang dari Sulawesi yang berprofesi sebagai pedagang kios dan tengkulak gaharu.

Cuaca cerah saat kami tiba di kampung Beco pada pukul 15.00 WIT. Kepala kampung, Paulus Jemi menyambut kami di depan SD Inpres Beco. Bersama Paulus dan beberapa warga yang datang, kami duduk di halaman salah satu rumah guru. Kami berbagi kisah tentang kondisi kampung Beco, termasuk SD Inpres Beco.

"Dulu waktu kepala sekolah, Pak guru Lastri sekolah ini buka setiap hari. Kami punya anak-anak bisa belajar dengan baik. Tetapi, sejak pergantian kepala sekolah pada tahun 2015, sekolah ini lebih banyak tutup. Kepala sekolah, pak guru Edo Yemu tinggal di Ayam. Dia jarang datang ke Beco," tutur Paulus.

SD Inpres Beco memiliki empat orang guru. Dari keempat guru tersebut, dua orang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu kepala sekolah, Edoardus Yemu dan guru Izak Sama. Dua orang guru lainnya berstatus sebagai guru kontrak Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, yaitu Reza Rakan dan Yohanes Lartutul.

"Saya baru tiba kemarin. Kepala sekolah suruh saya datang buka sekolah. Saya dan anak-anak mulai babat rumput. Kami juga sudah bersihkan WC. Saya akan bukan sekolah ini untuk kasih ujian anak-anak," tutur Yohanes Lartutul.

Gedung SD Inpres Beco. Dokpri.
Gedung SD Inpres Beco. Dokpri.
Kondisi fisik gedung SD Inpres Beco tampak terawat. Ada empat ruang, yang terdiri atas tiga ruang kelas dan satu ruang lainnya digunakan sebagai kantor dan gudang tempat menyimpan buku dan peralatan sekolah lainnya.

Fasilitas pendukung lainnya seperti Perpustakaan tidak ada. Buku-buku bacaan tersusun rapi di dalam karton yang terletak di ruang guru. Demikian halnya, tidak ada lapangan upacara bendera. Jalan masuk ke sekolah pun tidak dibangun.

Rumah guru ada dua unit. Satu unit ditempati Yohanes. Satu rumah lainnya kosong. Kondisi rumah guru pun memprihatinkan. Rumah guru dibangun tanpa dilengkapi fasilitas seperti solar sel dan penampung air hujan yang memadai.

Apa pun alasannya, ketidakhadiran guru di Beco sangat merugikan anak-anak. Mereka tidak bisa belajar. Mereka bertumbuh menjadi anak-anak yang tidak bisa membaca, menulis dan berhitung.

Berdasarkan data yang tertera di papan data siswa, SD Inpres Beco memiliki 104 siswa. "Di papan informasi ini memang ada 104 siswa, tetapi kalau di Dapodik, hanya sekitar 70-an siswa. Sebagian siswa belum bisa masuk Dapodik karena data belum lengkap," tutur guru Yohanes yang sekaligus mengurus Dapodik SD Inpres Beco.    

Sejak pergantian kepala sekolah pada tahun 2015, SD Inpres Beco terlantar. Kepala sekolah, Edoardus Yemu tinggal di Ayam. Dia jarang datang ke Beco. Ketidakhadiran kepala sekolah membuat para guru lainnya pun tidak tinggal di Beco untuk mendidik anak-anak.

Meskipun kepala sekolah dan para guru tidak hadir di kampung Beco dan mengajar anak-anak, mereka tetap menerima gaji. Laporan aktivitas belajar mengajar sangat bagus. 

Semua guru menandatangani daftar hadir supaya gaji dan beban kerja dibayarkan oleh Dinas Pendidikan. Padahal, mereka tidak tinggal di kampung Beco untuk mengajar anak-anak.

Demikian halnya, SD Inpres Beco menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tetapi, tampak bahwa di sekolah tidak ada perbaikan (rehab) apa pun. Selama ini, dana BOS dipakai untuk apa? 

Mengapa sekolah jarang buka, dana BOS cair, laporan pertanggungjawaban dana BOS sangat bagus, tetapi di sekolah tidak ada perbaikan apa pun selain dinding depan sekolah yang dicat?

Catatan Kritis

Bersama pemerintahan kampung Beco. Dokpri.
Bersama pemerintahan kampung Beco. Dokpri.
Kondisi SD Inpres Beco yang lebih banyak tutup lantaran kepala sekolah tinggal di pusat Distrik Akat, Ayam. Kalau kepala sekolah tinggal di Beco tentu sekolah akan buka setiap hari. Anak-anak bisa belajar dengan baik.

Kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan perkembangan sekolah. Kalau kepala sekolah tinggal di kampung Beco, sekolah pasti hidup. Para guru akan tinggal di Beco dan mendidik anak-anak. Tetapi, kalau kepala sekolah bersikap malas tahu dan tidak peduli, maka para guru lainnya pun bersikap sama.

Belakangan, di Papua sedang menjadi diskusi hangat di kalangan para aktivis yaitu "orang Papua baku makan." Artinya, orang Papua yang menjadi pemimpin, tetapi tidak peduli pada sesamanya orang Papua. Kondisi ini terjadi juga di SD Inpres Beco. 

Kepala sekolah, Eduardus Yemu,orang asli Papua, tetap tidak memberikan perhatian serius pada pendidikan generasinya, anak-anak Asmat di Beco.

Siapa lagi yang bisa diharapkan kalau orang-orang  Papua yang menjadi pejabat di tanah Papua tidak peduli pada sesamanya orang Papua? Orang Papua sendiri harus bangkit dan memimpin dirinya. Hanya orang Papua yang bisa membawa generasi Papua ke masa depan yang lebih baik. 

Semua itu, bermula dari sekolah dasar di kampung-kampung terpencil. Sebab, orang Papua tinggal di kampung-kampung terpencil. Karena itu, setiap pribadi orang asli Papua, yang menjadi pemimpin, terutama kepala sekolah dan guru harus benar-benar mempersiapkan anak-anak Papua untuk menjadi pemimpin di masa depan.

Kisah anak-anak di kampung Beco yang tidak bisa bersekolah karena guru jarang tinggal di kampung merupakan kisah kelam dalam sejarah Papua dewasa ini. 

Ketika daerah lain berlomba-lomba membangun sumber daya manusia, justru di Papua sekolah tutup. Padahal, hanya melalui sekolah orang bisa meraih sukses di masa depan.

Menyaksikan buruknya layanan pendidikan dasar di kampung-kampung terpencil di Papua saat ini, saya yakin bahwa ke depan, orang asli Papua akan semakin tersingkir di atas tanahnya. Orang Papua hanya akan menjadi penonton lantaran minim keterampilan untuk bersaing dengan orang dari luar.

Sekolah dasar, terutama di pedalaman Papua, termasuk di Asmat, sebagai wadah mempersiapkan orang asli Papua untuk memimpin negerinya lebih sering tutup. 

Anak-anak Papua tidak bisa bersekolah. Mereka menjadi buta huruf bukan karena kemauan mereka, tetapi karena tidak adanya kepedulian dari para pihak yang mendapat mandat untuk mencerdaskan mereka.

Secara khusus, untuk menyelamatkan anak-anak Asmat di kampung Beco, Dinas Pendidikan kabupaten Asmat harus segera mengirim kepala sekolah baru untuk membuka sekolah secara rutin. 

Dinas Pendidikan juga perlu mengirim guru-guru yang rajin mendidik, bukan guru malas yang hanya menerima gaji tanpa mengajar anak-anak. Apabila Dinas Pendidikan tidak segera mengganti kepala sekolah, maka masa depan orang Beco akan suram karena generasi mudanya buta huruf.

Orang Beco, juga di kampung-kampung lainnya di Papua merindukan guru-guru yang memiliki hati untuk melayani anak-anak mereka. Orang tua manakah yang tidak bangga kalau anak-anaknya bisa bersekolah dan menjadi pemimpin-pemimpin berintegritas di masa depan? 

Semua orang tua merindukan anak-anak mereka bisa sekolah supaya kelak menjadi pemimpin bagi sesamanya orang Papua. Tetapi, kerinduan itu tak pernah terwujud karena anak-anak mereka tidak bisa bersekolah lantaran guru tidak betah tinggal di kampung.

Semoga di masa depan, setiap pribadi yang menjadi guru di tanah Papua, termasuk di Asmat mau mendedikasikan seluruh hidup mereka untuk mendidik anak-anak Papua. 

Secara khusus, para guru orang asli Papua harus berani memberikan diri bagi sesamanya orang asli Papua dengan sungguh-sungguh mendidik generasinya, orang asli Papua di kampung-kampung terpencil supaya masa depan Papua cerah. [Agats, 27 Juli 2019]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun