Mohon tunggu...
Husaini Algayoni
Husaini Algayoni Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kolumnis

Dalam seruputan secangkir kopi ada imajinasi. Hobi membaca, menulis, travelling, menonton, mendengar musik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahagiakah Menjadi Politisi?

25 November 2018   00:51 Diperbarui: 25 November 2018   01:09 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rumus kebahagiaan adalah hubungan manusia dengan rasa cinta, rumus cinta tidak berlaku pada politisi. Dalam politik, dasar hubungan manusia adalah kepentingan."

Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) salah satu kelembagaan negara yang diatur dalam Undang-Undang, gedung DPR dihuni oleh orang-orang pilihan karena mereka dipilih oleh suara rakyat tapi gedung terhormat ini kurang dipercayai oleh masyarakat bahkan sebagian ada yang membencinya karena di dalamnya terdapat tangan-tangan jahil yang hobi mencuri disaat rakyatnya sedang tidur di malam hari, walaupun kurang dipercayai oleh publik anehnya gedung DPR selalu diminati dan dirindukan kehadirannya lima tahun sekali oleh politisi ulung maupun politisi musiman yang hanya muncul saat-saat pemilihan calon legeslatif. 

Seorang politisi kata Churchill, mantan  Perdana Menteri Inggris ialah "Memiliki kemampuan mengatakan sesuatu yang akan terjadi pada hari esok, bulan depan, tahun mendatang serta menjelaskan mengapa semua yang dikatakannya itu tidak pernah menjadi kenyataan." Begitu juga dengan Thomas Jefferson mengatakan Politisi hanya memikirkan pemilihan umum (pemilu) yang akan datang." Nah, sebentar lagi pesta demokrasi dalam ajang pemilihan calon legeslatif (orang-orang pilihan) akan segera dimulai untuk membawa politisi duduk di gedung terhormat.Melihat fenomena peta perpolitikan di Indonesia yang semakin pragmatis dan cenderung instan, timbul pertanyaan dan mungkin pertanyaan ini sama dengan pembaca budiman. Perlukah politisi ada di Indonesia dan mereka duduk di gedung terhormat? Atau apakah politik merupakan sebuah keniscayaan atau suatu kesia-siaan? Seandainya politisi tidak ada di Indonesia, apa yang terjadi? Mungkinkah Indonesia akan aman dan damai tanpa hadirnya politisi, karena kita lihat akhir-akhir ini bangsa Indonesia kacau oleh ulah politisi yang memecah belah persatuan hanya untuk kepentingan syahwat politik, dirinya, kelompok dan partainya.

Salah satu buku yang enak dibaca dalam menyentil politisi ditulis oleh Arvan Pradiansyah dengan judul "Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!" Kenapa, kalau mau bahagia; jangan jadi politii! Apakah ada sesuatu atau manusia dilarang menjadi politisi agar bahagia dalam hidup. Nah, disini saya akan mengupas buku ini secara sederhana agar kita tahu bersama-sama apa sebenarnya dibalik layar politik seorang politisi.

Sebelum masuk ke pokok pembahasan, kita jawab terlebih dahulu pertanyaan di atas; perlukah politik/politisi ada di Indonesia atau secara umum di dunia? Arvan Pradiansyah berangkat dari perkataan seorang filsuf Prancis, Andre Comte, ia mengatakan bahwa politik adalah sebuah keniscayaan. Kita membutuhkan politik supaya konflik kepentingan dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Kita perlu membentuk negara bukan karena semua orang baik dan adil, justru karena mereka tidak seperti yang kita harapkan.

Politik adalah seni untuk hidup bersama dengan orang-orang yang bukan merupakan pilihan kita, orang-orang yang tidak mempunyai ikatan yang khusus dengan kita dan orang-orang yang lebih merupakan rival ketimbang kawan kita. Politik, dengan demikian, diperlukan agar kita mendapatkan kepastian mengenai siapa yang memberi perintah, siapa yang membuat hukum dan peraturan, serta siapa yang harus menjalankannya. Tanpa politik, tidak akan ada hukum yang berlaku dan tidak ada kekuatan yang bisa memaksa orang untuk mematuhinya.

Dari penjelasan di atas bahwa politik dan seorang politisi sangat diperlukan dalam sebuah negara untuk menjamin kehidupan dan peradaban, disinilah para politisi memainkan peranan yang sangat penting. Dengan menjalankan negara, para politisi dapat menyuruh orang untuk berbuat baik dan melarang untuk berbuat jahat. Seorang politisi ketika sudah menjabat (DPR, Kepala Daerah) mempunyai hak dan wewenang dalam mengatur rakyatnya menuju kebaikan, kesejahteraan dan menjamin hidup yang aman dan damai. Coba kita lihat konsep politik Rasulullah penuh dengan kedamaian tanpa ada konflik ketika menyatukan kelompok Muslim dan Yahudi untuk hidup berdampingan dan membangun toleransi di Madinah.

Namun sayangnya sungguh sayang, ada saja politisi-politisi jahil karena politik lebih sering diperlakukan sebagai sebuah kompetisi untuk memenangi kekuasaan, menguasai aset rakyat, serta menggunakannya untuk kemakmuran pribadi dan golongan. Mengapa hal ini terjadi, menurut Arvan Pradiansyah, ada tiga paradigma yang menjadi penyebabnya: Pertama, kecenderungan mementingkan diri sendiri dan keserakahan yang tidak ada batasnya. Kedua, banyak orang yang masih lihat jabatan sebagai kesempatan, bukan sebagai amanah. Ketiga, banyak orang yang berpikiran bahwa "Semua orang akan melakukan hal yang sama bila mereka mendapatkan kesempatan (jabatan) yang sama."

Sekarang kita masuk ke pokok pembahasan, apakah ada alasan kalau mau bahagia jangan jadi politisi atau penulis buku ini menyuruh kita untuk menjauhi politik. Arvan Pradiansyah memberikan argumen yang sederhana yaitu "Politik dan kebahagiaan adalah dua hal yang berbeda, yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri." Politik memang tidak ada kaitannya dengan kebahagiaan, rumus yang berlaku di dunia politik juga sangat berbeda dengan rumus yang berlaku untuk mencapai kebahagiaan.

Untuk lebih jelasnya, dalam tulisan Arvan tentang "The 7 Laws of Happiness" dalam tulisan ini ia menjelaskan kebahagiaan sebagai sebuah state mind. Agar bisa bahagia, kita harus menyaring "makanan-makanan" yang masuk ke dalam kepala kita. Hanya makanan yang sehatlah yang kita putuskan untuk kita konsumsi. The 7 Laws of Happines adalah sebuah alat untuk memilih pikiran kita. Adapun 7 makanan bergizi yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan sebagai berikut: Sabar, Syukur, Sederhana, Cinta/Kasih, Memberi, Memaafkan dan Berserah.

7 Law of Happiness inilah Arvan menggunakannya sebagai kerangka berpikirnya dan membandingkannya dengan rumus politik, mari kita lihat perbandingan antara rumus politik dan rumus kebahagiaan dengan mengikuti pola 7 Laws:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun