Mohon tunggu...
Muhamad Adib
Muhamad Adib Mohon Tunggu... Buruh - Wong Alas

Jadikan masyarakat desa hutan,nafas Pembangunan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jual Tanah untuk Membangun Sekolah

21 Februari 2020   15:22 Diperbarui: 21 Februari 2020   15:17 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri
dokpri
Banyak kisah "asyiik" selama 29 (dua puluh Sembilan) tahun saya  bergiat di dunia pendidikan non formar khususnya pendidikan bagi anak-anak dan masyarakat msikin pinggiran hutan.  Saya memulai menjadi "penikmat" pendidikan non formal pada awal tahun 1991 saat saya masih  duduk di kelas 3 (tiga) SMA dengan menjadi penyelenggara sekaligus "Tutor" kelompok Belajar Paket A Basic dan Intensif program dengan jumlah warga belajar sebanyak 80 (delapan puluh) orang yang mayoritas adalah perempuan ibu- ibu rumah tangga. 

Sebagai anak muda yang masih sekolah dan tanpa pengetahuan tentang bagaimana menjadi tutor (pendidik) bagi orang dewasa, saya sangat menikmati aktifitas ini. Kegiatan belajar dilaksanakan malam hari di rumah penduduk dengan penerangan lampu petromak (saat itu listrik di kampong belum ada)

Pada tahun 1993 keasyikan bergiat di pendidikan non formal bertambah dengan menyelenggarakan kelompok belajar Paket B Setara SMP dengan menjadikan Balaidesa sebagai tempat kegiatan belajar. Lalu berkembang dengan membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU) gula semut (Kristal) yang Alhamdulillah sekarang menjadi salah satu produk unggulan Kabupaten Banyumas.

Selain balai desa dan rumah-rumah penduduk sebagai tempat belajar, kita sering menyelenggarakan kegiatan belajar tematik di tempat yang sesuai dengan tema pembelajaran. Misalnya, mengajak warga belajar untuk belajar tentang bagaimana mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) di kantor Kecamatan. 

Mengajak warga belajar untuk mengenal struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah ke Kantor Bupati dan gedung Dewan. Bahkan beberapa kali mengajak warga belajar ke kantor Gubernur. Dan semua kegiatan tersebut dilaksanakan tanpa meminta biaya sama sekali kepada warga belajar. Kok bisa...? itulah pertanyaan yang seringkali saya sendiri bingung menjelaskannya.

Menjadi penikmat pendidikan non formal dengan sasaran anak-anak dan keluarga miskin, saya berprinsip tidak akan pernah meminta biaya apapun dari mereka. Tetapi ketika mereka dengan kemauan sendiri ikut berkontribusi kita menerima dengan senang hati. Karena itu berbagai cara kita lakukan agar proses dan kegiatan belajar tetap berjalan. Contoh, warga belajar Paket A yang rata-rata adalah keluarga pengrajin gula kelapa, sebagai tutor kita bikin program menabung. 

Menabungnya bukan uang tetapi gula. Setiap pertemuan warga belajar menabung gula dan gulanya di hargai dengan harga yang paling tinggi di desa. Setelah gula terkumpul, saya menjual gula tabungan warga belajar kepada kawan-kawan di kota terutama para pejabat yang kita kenal dengan harga lebih rendah daripada harga jual di kota. 

Ternyata masih ada selisih harga yang lumayan antara harga tertinggi di desa dengan harga terendah di kota. Selisih harga itulah yang kemudian bisa kita gunakan untuk kegiatan-kegiatan belajar. Terkadang, kita bersama-sama warga belajar membuat berbagai macam produk baik makanan maupun kerajinan lalu di jual.

Pengalaman pertama membangun gedung sekolah pada tahun 2005 dimana saat itu jumlah warga belajar Paket B dan Paket C hampir mencapai 400 (empat ratus) orang. Dengan berbagai cara Tuhan memberikan rizki untuk membeli tanah seluas 1340 meter di pinggir jalan. Peletakan batu pertama pembangunan di lakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan. 

Ayiiknya biaya untuk peletakan batu pertama kita peroleh dari uang pinjaman Bank Syariah (BMT). Alhamdulillah sekarang ini bangunan kokoh 2 lantai sudah selesai dengan total biaya lebih dari 1 milyar rupiah. Tanpa bantuan dana dari Pemerintah. Kok Bisa... ?  saya selalu menjawab Tuhan Maha Kaya...

Pengalaman lain yang asyik adalah pada awal tahun 2012 membangun tempat Pendidikan Anak usia Dini (PAUD) di sebuh kampong di tengah hutan. Bangunan di dirikan di atas tanah Perum Perhutani seijin Kepala Perhutani. Untuk membangun Paud, kita menyelenggarakan kegiatan "Sosial Workcamp" dengan kontribusi setiap peserta sebesar Rp. 100.000,- dimana yang Rp. 50.000,- di gunakan untuk operasional social workcamp, sisanya di pakai untuk biaya pembangunan Paud. Alhamdulillah, selesai. Kok bisa...? Tuhan Maha Kaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun