Mohon tunggu...
Muhamad Adib
Muhamad Adib Mohon Tunggu... Buruh - Wong Alas

Jadikan masyarakat desa hutan,nafas Pembangunan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jihad Wong Alas (Bagian Pertama)

29 Oktober 2019   17:56 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:14 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jihad (bahasa Arab: ) menurut syariat Islam adalah berjuang/usaha/ikhtiyar dengan sungguh-sungguh.[1] Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din (atau bisa diartikan sebagai agama) Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi dengan damai dan saling mengasihi (wikipedia).

Jihad wong alas adalah upaya yang sungguh-sungguh di lakukan oleh wong alas (masyarakat desa hutan) untuk mengatasi masalah-masalah yang di hadapi dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Jihad wong alas ini bukan Jihad biasa. Bukan Jihad kecil. Ini adalah Jihad yang sangat besar. Karena ada lebih dari 70 juta wong alas yang tersebar di 25. 826 desa hutan di seluruh nusantara. 

Bayangkan jika 1 (satu) persen dari 70 juta wong alas datang ke Monas masing-masing membawa 1 ikat jagung dan 1 pohon ketela juga membawa arang lalu serentak membuat acara pesta jagung dan singkong bakar.... Sudah terbayang ? Ratusan pesawat di pastikan batal terbang karena asap dari pesta jagung dan singkong bakar. Viral dan  menggegerkan alam semesta. Tapi tenang saja, itu tak akan pernah terjadi. Karena banyak masalah-masalah  yang sangat mendasar dan membelenggu kehidupan keseharian wong alas

Jihad Pendidikan

Kebodohan, sering juga di perhalus dengan kalimat masih rendahnya sumberdaya manusia masyarakat desa hutan, merupakan salah satu masalah mendasar  yang masih setia bersama wong alas dari dulu hingga sekarang di awal era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang "millennial". Selain rata-rata pendidikan wong alas yang hanya S1 (Sekolah Dasar), angka putus sekolah masih cukup tinggi, terutama pada lulusan S2 (Sekolah Menengah Pertama) yang tidak melanjutkan ke S3 (Sekolah Menengah Atas). Meskipun Predsiden yang juga "wong alas" (alumni Fakultas Kehutanan UGM) sudah menggelontorkan Program Indonesia Pintar (PIP). Jangan kaget di jaman kita berharap semua warga bangsa ini melek teknologi, di desa hutan masih kita temui orang dewasa yang masih buta huruf. Belum bisa membaca dan menulis huruf latin.

Masalah berikutnya adalah wong alas yang berpendidikan mulai dari mereka yang lulus SMA/SMK hingga yang lulus Perguruan tinggi, setelah lulus hampir di pastikan mayoritas akan meninggalkan desa hutan untuk mencari pekerjaan di kota. Ketika ada yang mencoba tetap  bertahan tinggal di desa,pilihannya adalah menjadi perangkat desa. Wong alas dengan pendidikan formal tinggi tidak bisa bertahan tinggal dan hidup di desa karena ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang di peroleh di lembaga pendidikan tidak bisa di terapkan saat mereka hidup di desa hutan. Anehnya termasuk mereka dengan latar pendidikan Sarjana Pertanian, Sarjana Peternakan dan Sarjana Perikanan. Pilihannya adalah bekerja pada perusahaan dan atau kantor pemerintahan. Ada apa gerangan ?

Jihad wong alas untuk mengatasi kebodohan ini dilakukan dengan berbagai program pendidikan terutama pada jalur pendidikan non formal seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Pendidikan Ketrampilan dan Kecakapan Hidup bersama pasukan Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjend Paud dan Dikmas), PP Paud dan Dikmas, BP Paud dan Dikmas, juga Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Berbagai pelatihan pelatihan juga diselenggarakan bersama pengelola hutan (Perum Perhutani), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan berbagai kementrian lainnya juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sayangnya, masih banyak wong alas yang belum memiliki kemampuan untuk mengakses berbagai program Pendidikan dan Pelatihan yang sesungguhnya sudah di siapkan oleh Pemerintah. Dan sesungguhnya juga wong alas merupakan kelompok sasaran prioritas dari program-program tersebut. Selain itu, banyak program pendidikan dan pelatihan yang tidak berkelanjutan sehingga menggantung. 

Sebagai contoh wong alas yang sudah selesai belajar pendidikan keaksaraan dan sudah bisa membaca dan menulis tidak berlanjut ke pembiasaan budaya membaca dan menulis sehingga proses pembelajaran terhenti. Dan saat berhentinya cukup lama, mereka akan kembali menjadi buta aksara. Contoh  lainnya adalah pelatihan kewirausahaan yang hanya selesai pada pelatihan saja tanpa ada dukungan pembiayaan untuk memulai berwirausaha dan kalau toh ada nilainya sangat kecil dan tidak cukup untuk memulai usaha.

Sepertinya pendidikan bagi wong alas memang harus di rancang sedemikian rupa sehingga belajar menjadi budaya  yang di resapi prosesnya dan dinikmati hasilnya bagi wong alas. Ahirnya, wong alas menaruh harapan besar kepada Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang millennial untuk bisa membuat kebijakan pendidikan yang pas bagi wong alas. Dan wong alas sangat ikhlas untuk bisa berbincang bersama Mas Mentri di bawah rerimbunan hutan Jati sambil bakar singkong dan srupuuut kopi....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun