Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Membenci Pagi

1 Maret 2023   07:00 Diperbarui: 1 Maret 2023   07:40 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan yang Membenci Pagi

Cerpen Yudha Adi Putra

Semua harapan berkembang. Kadang, bisa saja runtuh dalam perjalanan. Pagi menjadi pembuktian. Hari dimulai, semua petani membawa harapan masing-masing. Harapan itu ditanam perlahan. Menyesuaikan luas lahan yang kian menyusut. Bertegur sapa dengan harapan lain. Bertumbuh, bahkan tanpa pupuk.

"Mbok, Jarwo minta dibuatkan jenang sama gethuk," begitulah ungkapan isi hati Jarwo. Masih terekam jelas menghiasi pagi Mbok Asih. Pagi buta, ia sudah menggendong bakulnya. Mengikat kencang pada bahunya. Membawa nasib, begitu kala ia ditanya. Tak ada tujuan lain, tentu ke pasar. Menukar apa saja yang ada di bakulnya. Berharap pulang membawa harapan.

"Nanti ya le, doakan saja dagangan Simbok bisa laris," kata itu terucap. Menjadi penenang, untuk keduanya. Bagi Jarwo, jenang merupakan makanan kesukaannya. Bisa menunggu berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan supaya bisa makan jenang.

"Iya, Mbok," dan setelah itu, senyuman terpampang di wajah Jarwo.

Kalau saja ada jalan lain, pasti dicoba oleh Mbok Asih. Ia sudah lelah. Mengolah sawah. Mengurusi Jarwo. Tapi, anaknya itu menjadi alasan untuk bersyukur. Hidup harus terus dijalani. Harapan harus terus berkembang. Bahkan, rela untuk berutang demi sebuah kebahagiaan.

"Nempil sayur e, yu. Buat sayur bening seger-seger ini," kata Mbok Asih pada kawannya. Pedagang sayuran yang tampak murung. Tak ada harapan di dalam sorot matanya. Seperti ketakutan. Sebelum jam sepuluh pagi. Ia harus segera punya uang seratus ribu. Untuk membayar cicilan.

"Iyo, milih saja, yu,"

"Dadi bakul sekarang sulit ya, yu. Dagangan pada gak laku, pasar diminta pindah ke sana-sini. Belum lagi, rencana pasar digital itu. Yang bisa jualan malah mereka yang punya buat digital-digital. Pedagang sek punya sayuran malah cuma ndomblong," keluh Mbok Parjiem sambil mendekati bakul Mbok Asih.

"Bawa apa ini, yu. Singkong ya ? Wah. Singkongnya mantep ini, saya mau dong !"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun