Pertanyaan Ibunya Jarwo mengesalkannya. Piano dan gitar adalah bagian dari hidup Jarwo. Tiada hari tanpa main musik.
"Kenapa Bapak tidak kerja saja ! Menyebalkan sekali punya orangtua pengangguran."
"Jangan begitu, Jarwo. Bapakmu juga sudah berusaha." lanjut Ibunya.
Seolah tak ada pilihan, Jarwo merelakan. Gitar dan pianonya dijual. Nanti, ada kawan Ibunya yang datang. Membeli gitar dan piano tua itu.
"Ada anak kawan Ibu nanti mau beli !"
"Bilang saja. Aku sudah bosan. Mau beli model baru."
Setelah berbicara, Jarwo menyalakan motornya. Pergi menuju jalanan kampung. Jalanan yang tiap pagi basah. Sesekali menatap jam di tangan. Ada informasi jelas. Jam 08.35. Masih cukup untuk berangkat.
***
Tak ada alasan penting membuatnya ke kampus, kalau bukan bertemu Pak Warno. Liburan semester masih berlangsung. Kampus masih sepi. Tukang bangunan sibuk menata batu bata.
"Mbak. Saya mau bertemu Pak Warno." ujar Jarwo pada penjaga depan. Ada penjaga berkaca mata. Mungkin, dia juga mahasiswa. Ikut relawan. Berkegiatan di kala liburan. Atau, dia mahasiswa kehabisan ongkos pulang. Jarwo tak peduli. Ia hanya menerka.
"Sebentar, Mas. Tadi, apakah sudah janjian ?"
"Sudah. Jam sembilan katanya."
Perempuan penunggu ruangan tadi menatap jam. Tepat jam 09.00. Belum sempat beranjak dari tempat duduk. Tiba seorang lelaki paruh baya. Banyak orang memanggilnya, Pak Warno. Padahal, nama akademisnya adalah Prof. Suwarno, PhD.