Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tatapan Sinis pada Penari Jathilan

31 Januari 2023   18:00 Diperbarui: 31 Januari 2023   18:01 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tatapan Sinis pada Penari Jathilan

Cerpen Yudha Adi Putra

Menyenangkan tinggal di kota Istimewa. Banyak kegiatan istimewa. Bahkan, dana keistimewaan. Hingga ada pentas jathilan tiap Minggu. Tari kuda lumping dengan akhir semua pemain kesurupan itu amat diminati. Rela datang dari jauh. Berhimpitan. Parkir dengan tarif lebih mahal. Supaya bisa melihat jathilan.

Darso menghubungi Yeni kemarin, janjian untuk melihat jathilan. Kebetulan saja, lokasinya dekat. Seorang calon pejabat mengadakannya. Entah untuk menarik simpati. Tak ada yang peduli. Asal bisa menikmati apa yang disebut seni pertunjukkan itu. Yeni amat tidak senang dengan jathilan. Tapi, kekasihnya orang kota itu belum pernah lihat jathilan. Kalau lihat, hanya lewat video saja.

"Aku ingin memberi uang pada penari babi !" ujar Darso bersemangat.

Tak kuasa menutup kebahagiaan kekasihnya, Yeni mengiyakan. Pentas jathilan pasti ramai, kalau tidak hujan. Hujan juga bisa ramai, asal penarinya perempuan. Itu yang Yeni benci. Biasanya akan ada atraksi makan ayam mentah, makan kaca, banyak penjual makanan, dan teriak anak-anak kegirangan. Semua itu terjadi seolah hidup menjadi ringan. Iringan musik jathilan mendukung sekali.

***

Hampir setiap sore, Yeni melihat latihan pemain jathilan. Seminggu diadakan tiga kali. Yeni sangat bersemangat jika musik gamelan sudah dibunyikan. Tapi, beranjak dewasa ia tak senang lagi, bahkan merasa risih ketika ada jathilan. Meski pamannya adalah salah satu pawang jathilan. Desanya menjadi desa kesenian. Pernah mendapat penghargaan desa budaya. Bersamaan dengan hal itu. Muncul anggapan jathilan mainan setan. Sudah era digital, masih bermain tari-tarian. Badan sakit semua. Uang tak seberapa. Banyak anggapan tentang jathilan. Yeni enggan berkomentar.

Saat pemain jathilan dirias, kadang Yeni membantu. Tapi, ia tak pernah mau ikut menari. Kedua orangtuanya memaksa ikut.

"Yen, kau penerus dari pengurus jathilan di sini. Keluarga kita hidup dari seni. Jangan sampai karena kamu kuliah. Kamu merasa lebih dari teman-temanmu yang lain !" kata Bapaknya Yeni.

"Lihat, ada penabuh yang menggantungkan hidupnya dari kita. Ada penari yang rela latihan sampai malam. Semua demi kita. Demi jathilan. Kita berkesenian, Nak !" lanjut Ibunya Yeni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun