“Tidak ! Aku tidak mau menjadi rumah !” teriakku. Semua nampak kebingungan. Pak Darso, pemilik baru yang mau menjadikan aku rumah nampak termenung. Ia menatapku, sebagai perempuan aku berusaha secantik mungkin meski tidak terawat lama. Angin seolah mau bekerja sama, ia berkejaran hingga rerumputan yang tumbuh nampak menari-nari.
“Aku bisa pikirkan ulang. Tapi, kau ada benarnya juga. Sawah ini peninggalan bapakku. Aku memang disuruh untuk mengurusnya, bukan untuk menjadikan rumah. Tentu aku bingung, mau diapakan lagi sawah seperti ini. Kau tahu sendiri, sejak kecil aku di kota. Sawah hanya ada dalam cerita yang aku dengar saja,” ujar Pak Darso. Ia nampak melihat ponselnya. Ada foto aku, petani tua, dan Pak Darso kecil. Sedikit ingatanku bangkit, aku tahu Pak Darso. Ternyata, ia bayi kecil yang dulu terjerembab di dalam diriku. Lucu sekali, tubuhnya penuh lumpur. Kami tertawa.
***
Perasaanku sebagai sawah mulai tidak nyaman. Biasanya senang, ketika rumput liar dibersihkan dan air mengalir menggenangi. Siang ini, traktor berjalan dengan sombong. Tanah dibaliknya bersama cacing-cacing mulai kelihatan. Momen bagi burung bangau untuk makan. “Sudah lama sekali, aku tidak makan di sawah ini,” seru burung bangau. Ia berhasil mematuki cacing yang nampak ketika traktor selesai membalikkan tanah.
“Benar, cacing di sini gemuk-gemuk. Enak sekali, dimana petani tua yang biasanya pakai cangkul ? Sekarang yang membajak malah pakai traktor,” jawab bangau lain.
“Mungkin petani itu sudah lelah, makanya sawahnya dikerjakan orang lain. Orang yang lebih modern. Pakai traktor, dibandingkan pakai cangkul. Ini lebih cepat tahu, kita juga bisa dapat makan banyak,” komentar bangau yang baru saja datang. Mereka berterbangan. Ada yang sampai hinggap di traktor.
Percakapan menggembirakan itu membuat aku teringat sesuatu. Saat dimana petani hanya memakai cangkul. Ia bersama kerbau malas mencoba untuk membajak sawah.
“Ayolah kerbau. Ini baru setengahnya saja belum ada. Kenapa kamu malah mandi ?” kata petani pada kerbau. Aku melihatnya lelah. Kerbau malah berendam. Mulutnya mengunyah makanan yang mungkin tadi pagi diberikan oleh petani.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau berjalan. Selamat bersenang-senang. Ini lebih baik dibandingkan pakai traktor, nanti bisa merusak lingkungan kalau berceceran oli atau bensin. Kalau keringatku dan kotoranmu, sawah pasti akan subur nantinya,” kata petani. Aku tersenyum. Petani tahu betul bagaimana memperlakukan sawah seperti diriku.
***
Musim tanam tiba, aku melihat Pak Darso datang kembali. Kali ini, ia datang sendirian dengan sepeda motor klasiknya. Mungkin harganya mahal karena bukan seperti sepeda motor petani lain.