Cerpen Yudha Adi Putra
        Minggu sore menjadi kesepakatan bersama untuk mereka berlomba. Sejak siang, halaman rumah Desti sudah ramai dengan aneka perlengkapan lomba. Suara musik juga terdengar. Tidak lupa, makanan dan minuman turut dipersiapkan. Sekumpulan anak yang biasanya sekolah minggu, merencanakan untuk lomba natal. Tepatnya mengadakan beberapa lomba dalam menyambut natal. Ada lomba makan kerupuk, tampar air, dan tentu lomba khas anak sekolah Minggu. Cerdas cermat Alkitab.
        "Mereka belum juga datang. Ini sudah hampir pukul tiga sore," ucap Priska karena panik tali untuk menali plastik berisi air belum dibeli oleh Tito.
        "Sebenar, mungkin saja mereka sambil membeli es, tadi Nita minta tolong untuk dibelikan es sekalian. Untuk kita minum bersama," jawab Dinda.
        Semua persiapan lomba sudah selesai. Tinggal menunggu adik-adik sekolah Minggu datang. Memang, ada yang datang awal. Ada yang mengecek lokasi sudah ramai atau belum, lalu pulang karena harus memberi kabar teman yang lain. Macam-macam, orang tua juga tidak ketinggalan dengan membawa HP mereka. Siap untuk menangkap gambar momen menyenangkan yang mungkin saja tidak diperoleh mereka ketika sekolah Minggu. Sebuah lomba Natal.
***
        Yudha sebenarnya malas untuk datang. Bukan tanpa alasan, tapi karena bertemu teman-temannya itu mengguras tenaga. Ada saja ucapan temannya yang menyakitkan hatinya. Kalau tidak, ada perlakuan khusus yang membuat dirinya tidak nyaman. Misalnya, khas pertanyaan mahasiswa akhir.
        "Kapan skripsi selesai ? Sudah mau natal. Semoga natalnya meriah. Besok bisa bekerja lagi," tanya seorang paruh baya sambil mempersiapkan Hpnya untuk menghubungi anaknya yang entah kemana.
        "Secepatnya, mungkin akan selesai!" jawab Yudha ketus.
        Tak hanya itu, pertanyaan lain mengenai barang-barang yang dibeli ketika sudah natal juga dipertanyakan. Soal HP baru, laptop baru, dan pelengkapan untuk menghadiri kegiatan natal. Semua jadi baru. Perlombaan natal memang menjadi acara yang menyenangkan. Bagaimana tidak, anak-anak boleh bermain dengan sukacita. Bisa bertemu dengan teman-temannya yang mungkin saja tidak bertanya soal pencapaian hidup, tapi memamerkan pemberian yang diterima dari orang tua mereka. Itu sudah cukup menyebalkan, terutama bagi Bara.