Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuliah dan Asa yang Entah

30 November 2022   15:50 Diperbarui: 30 November 2022   16:03 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuliah dan Asa yang Entah

Cerpen Yudha Adi Putra

                Dalam perjalanannya mengantarkan nasi, ingatannya kembali ke 20 tahun lalu saat dirinya masih menjadi seorang mahasiswi. Anita bermimpi begitu tinggi, semangat belajarnya tidak terpatahkan, semua kegiatan kemahasiswaan hampir selalu ia ikuti. Nama Anita dikenal di kampus itu. Tapi, semua itu dulu. Sebelum ia mengenal laki-laki yang mengaku sebagai abdi negara. Penampilan rapi dengan baju dilengan dilipat gagah berhasil menjeratnya pada hidup yang kini dijalani. Dulu, ia pikir hidupnya akan terjamin dan kehormatan keluarganya jelas nyata dalam masyarakat. Dalam sekejap, itu semua hanya angan saja. Penyesalan dirasakannya saat ini.

                "Setoran hari ini kurang lima puluh ribu," ucap pedagang telor langganan Anita membeli.

                "Maaf, Bu. Penjualan nasi uduk lagi sepi, jadi telornya saya bon dulu ya, Bu. Besok kalau ada uang saya bayar," jawab Anita sambil menundukkan kepala. Ia malu, tapi bagaimana lagi. Uangnya habis untuk keperluan sehari-hari. Belum sempat kembali modal untuk membeli bahan nasi uduk lagi.

                Begitulah Anita di pagi yang mendung. Mengirimkan nasi uduk dari warung ke warung, sesekali menawarkan pada mahasiswa yang terburu karena kelas pagi. Pekerjaan itu dilakukan sudah lama, tepatnya sejak suaminya dikeluarkan dari tempatnya bekerja.

***

                Kondisi rumah Anita selalu ramai setiap malam. Ada saja yang dipertengkarkan oleh Anita dan suaminya. Suaminya teriak minta kopi dan anaknya mengeluhkan lauk itu-itu saja. Begitulah latar suara rumah Anita ketika senja sudah berganti gelap. Belum lagi, jemuran yang belum dilipati, perabotan dapur yang belum dicuci, dan banyak hal berantakan di rumah. Maklum, di rumah itu yang membereskan hanya Anita, perempuan satu-satunya. Tapi, apa salahnya jika suami dan anaknya juga membantu pekerjaan rumah tangga ? Itu yang selalu dipikirkan oleh Anita, namun tidak pernah terjadi. Kesal rasanya, Anita mengeluh setiap mendengar suaminya cerewet dan anaknya tidak bisa menerima keadaan. Pekerjaan rumah tidak tersentuh, dari memasak, mencuci piring, mengepel, menyapu, bahkan menyalakan lampu.

                "Kenapa laki-laki merasa paling harus dilayani, padahal mereka punya dua tangan dan semuanya utuh. Mereka yang tidak punya tangan saja berusaha membuat kopi sendiri. Apa laki-laki itu cacat?" gerutu Anita ketika membuatkan suaminya kopi.

                Tidak peduli apa saja yang dilakukan oleh Anita seharian, suaminya selalu minta dilayani banyak hal. Suaminya juga sering mengeluh ketika Anita merasa tidak bersyukur bisa bersamanya. Contohnya, ketika Anita mengeluh dan membandingkan suaminya dengan penyandang disabilitas yang bisa membuat kopi sendiri. Suaminya menjadi minum dengan setengah hati dan seraya kesal memiliki anggapan bahwa istrinya tidak tahu caranya berbakti. Seolah itulah nasib buruk yang harus dialami suami.

                "Apa gunanya laki-laki, selain makan dan tidur saja? Bekerja saja tidak benar, pilih-pilih dan akhirnya tidak mendapatkan hasil sama sekali. Apa ada pekerjaan yang mudah, pekerjaan yang tanpa risiko? Semua laki-laki di rumah ini pemalas, tidak bisa bekerja. Seperti kerbau saja!" kata Anita sambil bersungut-sungut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun