Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Pasar yang Menantang Logika Pasar

4 April 2014   02:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="622" caption="Suasana pasar empat enam/huzer apriansyah"][/caption]

Adzan Ashar baru saja usai, beberapa lapak mulai didatangi pembeli. Lapak sederhana dari kayu-kayu yang mulai rapuh itu nampak sumringah menyambut pembeli. Tawar-tawar renyah para pedagang dan pembeli pun mulai pecah. Suasana makin riuh seiring matahari yang kian merunduk.

Juru parkir dadakan nampak sibuk mengatur kendaraan yang singgah untuk berbelanja. Letak pasar yang berada persis di pinggir jalan, membuat urusan parkir jadi tak mudah. Di sisi sebelah Timur nampak pedagang sayur mayur dan buah merapat, di sisi Barat didominasi penjual ikan, daging ayam sampai ke daging burung. Pasar di Timur Kota Jambi ini selalu ramai. Penjual dan pembeli tumpah ruah.

Jangan bayangkan pasar empat enam ini senyaman pusat-pusat perbelanjaan modern seperti di mal atau pasar keluarga atau yangsejenis. Disini, pembeli berderet rapat di sisi jalan sambil sesekali menghindari kendaraan yang lalu lalang. Meski tak terlalu nyaman, tapi banyak sisi di pasar ini yang justru membawa rindu.

Kita mulai dari nama pasar, empat enam. Nama ini merujuk pada waktu buka pasar, antara pukul empat hingga enam petang. Ya, tak lebih dari dua jama saja. “Dari dulu macam ini lah jam bukanyo tuh.” Tutur bapak-bapak pedagang petai yang sudah lebih dari lima tahun berkiprah di pasar ini. Saya mulai berpikir, kenapa tidak sepanjang hari saja mereka buka ? Bukankah logika ekonomi modern biasanya demikian, memanfaatkan peluang semaksimal mungkin. Mengapa pasar ini justru menentang logika tersebut ?

[caption id="" align="aligncenter" width="622" caption="Petai salah satu dagangan yang paling dicari/huzer apriansyah"]

[/caption]

“Rejeki tuh dak usah dikejar nian, dibagi-bagi untuk yang lain pulok.” Logat khas Jambi menghiasi kalimat pedagang petai itu. Rezeki tak perlu terlalu dikejar, dibagi-bagi dengan orang lain juga. Aku tak serta merta percaya dengan kalimat itu. Dalam hati aku membatin, pastilah ini karena stok barang dagangan mereka terbatas. Tapi kalau dilihat-lihat, jumlah dagangan mereka taklah sedikit, pedagangan petai itu saja bisa membawa seratus sampai seratus lima puluh ikat petai. Satu ikat berisi sepuluh.

Lain pedagang petai lain pula pedagang kabau, kabau itu sejenis lalapan yang bentuknya kecil-kecil hitam dan menimbulkan bau mulut yang lumayan. Ibu pedagang kabau bilang, kalau dulu orang tua mereka selalu bilang, kalau maghrib datang semua pekerjaan harus ditinggalkan, harus berkumpul di rumah. Jawaban terakhir ini cukup masuk akal. Pada masa kanak-kanak di Palembang dulu, orang tua kami akan sangat sibuk menghalau kami masuk rumah kalau maghrib menjelang.

Durasi transaksi yang terbilang singkat ini membuat pembeli selalu merasa rindu untuk kembali. Apalagi produk yang diperjualbelikan disini sangat khas, hasil bumi dan hasil sungai yang memang biasa ditemui di Tanah Melayu. Sebut saja, ikan asin, ikan gabus, ikan tebakang, burung ayam-ayam, udang satang (galah), ikan toman, ikan sepat, sayur genjer, kangkung, buah jambu air, petai, kabau, jengkol dan berbagai produk lain.

[caption id="" align="aligncenter" width="622" caption="Ikan Tebakang, bisa kita temukan di pasar empat enam/huzer apriansyah"]

Ikan Tebakang, bisa kita temukan di pasar empat enam/huzer apriansyah
Ikan Tebakang, bisa kita temukan di pasar empat enam/huzer apriansyah
[/caption]

Inilah sisi lain dari pasar khas ini, produk yang diperdagangkan, hampir semua adalah hasil tangkapan sendiri atau tanaman sendiri. Jadi bisa disebut, pasar ini antara produsen dan konsumen bertemu langsung. Tak ada perantara pihak ketiga, seperti yang banyak terjadi di pasar. Pertemuan langsung antara produsen dan konsumen ini memiliki beberapa manfaat. Keuntungan produsen lebih besar dibanding harus menjual ke pihak lain yang nantinya akan menjualnya lagi. Bagi konsumen ini juga menguntungkan karena kualitas produk biasanya lebih baik dan harga bisa sedikit lebih murah.

Satu hal lagi yang sangat mengesankan di pasar ini adalah suasana keakraban dan kekeluargaan yang menghiasi tiap petang di pasar empat enam yang terletak tak jauh dari perempatan yang mengarah ke jembatan aur duri. Orang-orang juga mengenal pasar ini dengan nama pasar jalan baru. Pasar modern telah menghilangkan proses tawar menawar yang menjadi ciri khas pasar tradisional.

***

Pasar empat enam adalah sebongkah realitas yang masih bertahan. Sebuah realitas yang begitu sederhana, apa adanya dan melawan logika pasar. Berada di pasar ini seolah pasar bebas tak pernah benar-benar eksis. Karena karakter pasar yang begitu lokal dan spesifik. Padahal AFTA (Asean Free Trade Area) 2015 sudah di depan mata.

Pasar bebas ASEAN adalah tantangan sekaligus peluang bagi bangsa kita. Apakah lantas pasar seperti pasar empat enam akan babak bingkas dilindas lalu lalang produk bangsa luar ? Bagi saya, pasar empat enam adalah sketsa realitas negeri kita. Justru model pasar-pasar begini bisa menjadi kekuatan kita melawan derasnya kompetisi produk dan jasa antar bangsa.

Pasar empat enam adalah jalinan harmonik antara faktor ekonomi, budaya dan sosial masyarakat kita. Produk-produk yang ada di pasar ini memang tak disiapkan untuk mengantisipasi kehadiran buah-buah segar asal Thailand atau ikan impor dari negeri luar, atau beras dari Vietnam. Tapi produk yang ada di pasar empat enam adalah cermin kedaulatan pangan kita. Dalam bahasa kerennya inilahyang disebut sebagai community based business.

Bisnis berbasis komunitas adalah bentuk pertahanan dari globalisasi ekonomi yang terkadang kendalinya di luar kemampuan kita sebagai bangsa. Pasar empat enam sebagai salah satu bentuk bisnis berbasis komunitas, dari, oleh dan untuk komunitas itu sendiri. Jarang sudah kita menemui bentuk bisnis berbasis komunitas ini, karena globalisasi ekonomi justru menuntut bisnis yang berbasis modal dan entitas korporasi.

Tentu naif jika kita menghadap-hadapkan kemampuan bisnis korporasi dengan bisnis komunitas dalam skala yang sangat mikro seperti pasar empat enam. Tapi yang ingin saya garis bawahi adalah pentingnya dukungan negara untuk mendukung berkembangnya bisnis berbasis komunitas. Dukungan negara yang bisa diartikan sebagai intervensi negara, tentu adalah kondisi yang bertolak belakang dengankonsep pasar bebas, yang menyerahkan prosesnya pada pasar. Tapi kita perlu ingat, tak semuanya menjadi adil kala diserahkan pada mekanisme pasar. Peran negara sebagai regulator tetap diperlukan.

Dalam konteks pasar empat enam misalnya, perlu ada larangan pendirian pusat belanja modern di sekitar lokasi pasar tersebut, atau juga peniadaan retribusi atau jenis pajak lainnya untuk pedagang di pasar ini.

Siap tidak siap, setuju tidak setuju AFTA 2015 akan segera kita jelang, tapi tak terbayang kalau sepuluh dua puluh tahun lagi pasar-pasar seperti pasar empat enam benar-benar tinggal legenda disapu pusat perbelanjaan modern yang sebagian besar produknya didominasi produk impor, bagaimana nasib produk lokal kita, akankah kita menjadi tamu di negeri sendiri ?

Sebagai konsumen, kita semua biasanya lebih memilih berbelanja di tempat-tempat yang nyaman, berpendingan dan tak perlu ada tawar menawar, tapi jangan lupa perilaku pragmatis kita itu bisa menjadi picu yang menjadikan kita tamu di negeri sendiri di era pasar bebas. Maka berpikirlah sebelum berbelanja !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun