Mohon tunggu...
peringatan zendrato
peringatan zendrato Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis apa yang dirasa perlu ditulis

Suka Kesasar, Asal ada Teman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bunuh Anak Sendiri Saat Pilkada, Apa Hubungannya?

16 Desember 2020   08:12 Diperbarui: 16 Desember 2020   09:47 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber foto: detik.com)

Di tengah pandemi covid-19 negara ini memaksakan harus melaksanakan pemilihan kepala daerah di 270 daerah. Di hari penceblosan surat suara, wanita berinisial MT (30 tahun) membunuh 3 orang anaknya. Itu terjadi di Nias, tepat di Desa Banua Sibohou, Kecamatan Namohalu Esiwa, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Pada saat suami pelaku pergi menggunakan hak pilihnya ke TPS, sang ibu kandung menggorok leher ke tiga anaknya sendiri.

Penyebabnya karena himpitan perekonomian keluarga. Dengan penghasilan Rp 200.000 dalam 1 (satu) minggu tentu tidak cukup untuk menghidupi 4 orang anak. Ketika kebutuhan hidup tidak terpenuhi maka keluarga tersebut rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Tekanan ekonomi yang begitu sulit dielakkan ditambah lagi perkelahian dalam rumah tangga akan mengakibatkan depresi bagi anggota keluarga. Kalau saya tidak salah merangkai-rangkai, itulah alasan mengapa MT (ibu kandung) membunuh anaknya sendiri.

Tentu kasus ini tidak berkaitan langsung dengan pilkada. Kecuali, kalau seandainya dalam keluarga itu karena ada perbedaan pilihan politik sehingga tega menggorok leher ke tiga anak mereka. Namun itu sepertinya tidak mungkin terjadi.

Sayangnya kejadian itu terjadi pada saat pemilihan kepala daerah. Tidak mengherankan lagi bila pesta demokrasi ini hanya dimainkan dan hanya memberikan manfaat bagi segelintir penduduk di republik ini. Terutama bila dikaitkan dengan isi dompet. 

Bila pemerintah memperkirakan 60 persen anggaran yang digunakan bagi honorarium petugas penyelenggara pemilu kali ini, emangnya semua masyarakat kelas menengah ke bawah jadi honorer penyelenggara pilkada? Apalagi kalau perekrutan tenaga honorer itu di tingkat desa/kelurahan hanya mengutamakan kenalan atau keluarga. Jangan harap yang lain dari mereka bisa masuk.

Itu dari pemerintah. Sekarang, kalau berpikir dari kandidat, tentunya tidak semua warga jadi tukang sablon baju, tukang tempel stiker, tukang buat baliho, pembuat  kartu nama, pembuat nasi kotak, pedagang, atau bahkan timsukses di setiap desa. Tentunya hanya sebagian kecil warga saja yang punya keahlian dan yang dipih untuk mendapatkan tetesan air kehidupan itu. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya petani, peternak yang hasil nya tidak memberikan jaminan bisa bertahan hidup? Sementara akibat pandemi harga kebutuhan pokok saja cepat naik, banyak yang diPHK, hasil panen dibeli dengan sangat murah, dana corona dikorupsikan. Mungkin mereka hanya menggigit jari sambil menonton para elite memainkan investasi mereka dalam pilkada.

Penulis tidak menduga pemerintah memprediksi dalam pilkada pereknomian masyarakat menengah ke bawah terbantu dengan budaya politik uang. Kalau pun demikian, nyatanya uang itu lebih banyak berputar di elite bukan ke masyarakat menengah ke bawah. Bahkan yang lebih menyakitkan itu ketika beberapa aktor di lapisan bawah meraup semuanya. Jadi, tidak salah bila banyak warga mendapatkan surat panggilan memilih namun tidak menggunakan hak pilihnya. Ya karena tetesan air kehidupan itu tidak sampai ke masyarakat lapisan bawah.

Bila dikatakan sekarang ini masayarakat pemilih sudah pintar memilih (termotivasi karena diberi uang), itu terbalik, sebenarnya lagi menunjukan budaya politik yang buruk, menciderai demokrasi. Mengapa buruk? Ya karena motivasi menggunakan hak pilih bukan untuk jangka panjang, namun kebutuhan sesaat. Mengapa masyarakatnya tidak mau berpikir panjang? Ya karena paslon yang terpilih nanti juga "amnesia" setelah duduki jabatan itu. Maksudnya "Amnesia" kepentingan masyarakat banyak, tetapi ingatan tajam bagi kepentingan segelintir elit pemberi modal.

Lantas konsekuensi pilkada yang hanya dimainkan oleh segelintir elit bagi status ekonomi masyarakat bawah apa? Mungkin terlalu kedengaran kasar kalau penulis bilang konsekuensinya: "Yang miskin, semakin miskin... yang kaya, semakin kaya...". Namun, memang demikian yang akan terjadi 5 tahun ke depan. Kaum elit akan sibuk dengan masalah mereka sendiri, masyarakat bawah akan selalu dihimpit kekurangan kebutuhan pokok, penyakit, tindakan kriminal, dan bahkan bunuh diri.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun