Mohon tunggu...
peringatan zendrato
peringatan zendrato Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis apa yang dirasa perlu ditulis

Suka Kesasar, Asal ada Teman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan karena Korona

2 Mei 2020   13:42 Diperbarui: 2 Mei 2020   13:51 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu lebih awal matahari terbit. Saya mencari sarung tangan yang hampir koyak bagian telapak itu di bawah meja tamu. "Kalau tidak pakai sarung tangan, bisa terbakar kepanasan tangan ini sepanjang perjalanan." Saya berkata dalam hati. Ternyata sarung tangan itu tidak terjatuh di bawah kolom meja. Beruntung saja kepala saya mengenai jeket itu saat hendak berdiri dari posisi jongkok. Sarung tangan itu ternyata di dalam saku jeket yang 3 hari lalu saya pakai. Boleh dikata musim di sini kala itu selang-seling, hari ini hujan esoknya kemarau.

Hari sebelumnya adalah hari mendung, tidak ada hujan dan tidak ada pula sinar matahari. Warga yang hendak menjemur pakaian tidak tenang melakukan aktivitasnya yang lain. Warga yang mengeringkan biji kakao, pinang, dan padi juga demikian. Tetapi hari berikutnya begitu panas, sinar matahari seolah menjadi lidi yang memukul kulit. Maklum, dulu pernah membenci guru sekolah karena dipukul dengan memakai lidi, jadi kebawa-bawa sampai tua.

"Masker itu jangan lupa, itu ibu gantung di dekat kalender," teriak ibu dari dapur. Seketika saya mematikan motor. Sudah ketiga kali saya mematikan motor karena keperluan pengamanan diri sepanjang perjalanan. Ada kegelisahan lain dari sinar matahari yang begitu panas hari itu. Tanah yang berjatuhan dari roda dan bak mobil truk pengangkut. Karena tidak ada pembersihan, jalan raya seakan bukan aspal lagi, namun tanah yang berjatuhan dari kendaraan pengangkut tanah hasil galian itu kembali digiling kendaraan lain. Tanah yang berjatuhan di badan jalan raya merata melapisi aspal. Dan ketika kendaraan berlaju kencang maka debu pun melayang-layang di udara.

Saya sudah duga bahwa alat-alat berat di pinggir jalan besar yang bekerja meruntuhkan bukit dan menimbun pesisir laut sedang beraksi, itu sebabnya suruhan ibu begitu kuat mendorong saya pakai masker dari rumah. "awas, pakai masker terus, jangan lepas, korona di mana-mana!" ibu berteriak lagi dari dapur. Benar adanya korona sudah membuat ibu saya ketakutan, tapi bukan karena debu.

"Ibu teriak kencang dari dapur hanya gara-gara korona? Hihihi" saya berkata pelan supaya tidak terdengar olehnya. Padahal kala itu positif korona belum ditemukan di daerah sumatera apalagi di pulau kecil ini?. Angka positif korona di indonesia kala itu masih sekitaran 20-an orang dan itu masih di jantung Indonesia. "sorry, bu... anakmu bukan takut korona, tapi takut debu yang hampir menutup pandangan mata di jalan raya...!" saya berkata dalam hati.

Benar dugaan saya sebelum berangkat, para penggali gunung dan penimbun pesisir laut (katakan saja hampir reklamasi) sudah bekerja dari jam sebelumnya. Macet! Kendaraan berhenti, mobil berplat merah di depan saya ikut terhenti. Mobil truk yang begitu besar masuk-keluar kawasan galian itu. Para pengendara roda dua mencari celah yang bisa dilewati. Mungkin saya terlalu bodoh membuntuti salah satu truk pengangkut tanah ini. Ternyata tanah ini dibawa ke belakang toko besar yang membelakangi laut nan indah itu. Toko itu bukan kaleng-kaleng, punya banyak anak cabang, dan menyerap banyak usia produktif.

Mobil truk itu tidak sehaluan lagi dengan saya, namun debu yang dia bawa dan angkat ke udara menghinggapi sekujur baju dan celana. Debu dan asap yang dikeluarkan truk-truk besar ini menutup pandangan mata. Kalau sudah pernah nonton video-video uji coba nuklir atau kebakaran hutan, atau video jatuhnya meteor di padang gurun, begitu lah debu itu terangkat ke udara. Tetapi ada yang berani menantang debu dan asap ini. Beberapa pengendara roda dua tidak memakai helm dan masker. Ada pula yang mengangkat bagian leher baju mereka untuk menutupi hidung tetapi matanya tidak terlindungi. Mustahil mereka tidak mengalami sesak nafas dan sakit mata setelah melalui jalan raya ini.

Keesokan harinya lagi saya melewati jalan itu -- ya mau bagaimana lagi kan cuman itu satu-satunya jalan ke pusat kota. Debu, asap, dan macetnya sama saja. Namun pemandangan baru itu adalah hampir semua pengendara memakai masker. Entah sudah kesekian kalinya seseorang melewati jalan yang penuh debu baru dia sadar penting memakai masker, namun yang saya sadari bahwa bukan karena korona warga kota ini memakai masker. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun