Stosisme adalah aliran filsafat yang sejak dahulu kala sudah ada, salah satu pendirinya ialah zeno dan beberapa lainnya ialah chricippus, cicero, dan efictetus. Stoic sangat begitu populer di kalangan generasi Z, dimana paham-paham yang disalurkan sangat begitu membantu untuk masalah di kehidupan.Â
Bisa diakui bahwa memang ajaran yang dibawakan oleh paham stoic sangat begitu relevan untuk mengatasi kehidupan sehari-hari. Stoic dalam pahamnya mengajak kita fokus terhadap kendali diri kita, didalam kehidupan yang naik turun dan bergelombang atas dinamika yang ada.Â
Dalam paham stoic sebenarnya menunjukan atas kesadaran penuh terhadap apa saja yang kita rasakan, mulai dari penderitaan dan apa saja yang membuat kita menderita. Tentunya stoic bukan berarti suatu cara untuk menuju kebahagian, akan tetapi bisa menyadarkan kita perihal apa saja yang dapat merugikan diri kita sendiri.Â
Dalam hal ini, merugikan diri kita sendiri bisa dihasilkan dari sebuah pikiran yang sering tidak kita sadari. Stoic berupaya menyadarkan kita bahwa apa yang membuat kita cemas terkadang berpusat dari apa yang kita pikirkan dan bukanlah sebuah kenyataan.Â
Stoik berpendapat bahwa sehendaknya kita menyadari bahwa ada dua hal yang bisa kita pahami, yaitu sesuatu yang bisa kita kendalikan dan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Sesuatu yang bisa kita kendalikan tentu saja diri kita sendiri beserta instrument didalamnya seperti pikiran dan tindakan, sedangkan hal yang tidak bisa kita kendalikan ialah hal-hal yang diluar diri kita, hal yang diluar diri kita maksudnya ialah suatu gerak dan kejadian apapun yang tidak dibawah kendali kita.Â
Maka dari itu stoic menyuguhkan pahamnya agar kita bisa mempunyai sikap yang bijak terhadap apa yang terjadi di dunia luar yang memicu berjalanya pikiran negatif yang sering kali tidak kita sadari dan berujung kepada sebuah penderitaan dan tindakan yang tidak sesuai. Namun apakah stoic ini berlaku untuk kaum proletar?
Kita sendiri harus menyadari bahwa adanya beberapa golongan kaum proletar yang sangat begitu antusias untuk persoalan hidup dan isi perut, dan tentunya bertahan hidup adalah suatu naluri alami yang diwarisi sejak dahulu. Maka dari itu, dalam hal ini mereka tidak bisa berdiam secara pikiran dan tindakan. Apa yang mereka alami adalah penderitaan yang nyata dan apa yang mereka pikirkan ialah persoalan yang nyata juga.Â
Memang pada dasarnya stoic bukanlah paham yang begitu relevan untuk semua orang, dan bukan berarti akhirnya paham tersebut tidak berguna juga, akan tetapi kita harus bisa menggaris bawahi bahwa penderitaan bisa begitu nyata bagi beberapa orang. Maka dalam hal ini perlu kita kritisi bahwa penderitaan dan upaya paham stoic sangat begitu mengganjal dalam artian paham tersebut tidak masuk akan penderitaan yang nyata bagi kaum yang lainya.Â
Kaum proletar bisa kita katakan misalnya pemulung atau pegawai yang penghasilanya sangat miris dan hanya cukup untuk keberlangsungan hidupnya sehari-hari  tetapi memiliki keinginan dan harapan yang begitu besar namun terhalang oleh realitas yang ada, maka bisa dilihat penderitaan sangat begitu nyata baginya.Â
Pikiran adalah representasi dari kenyataan, maka hal nyata apa yang dialami oleh orang itu akan berdampak pada apa yang mereka pikirkan, karena naluriah bertahan hidup mereka meransang pikiran untuk mengantisipasi permasalahan yang nyata yang mereka alami. Sehingga tidak bisa dihindari bahwa pada akhirnya tindakan dan pikiran mereka menderita, bahkan bisa saja terpaksa negatif untuk hal-hal yang lebih penting ialah persoalan perut untuk bertahan hidup.
Stoic memang begitu berguna untuk mengarahkan kita kepada kesadaran diri penuh akan semuanya. Mengajak kita pula untuk bisa berlaku positif akan sesuatu yang ada di dalam diri maupun menyikapi yang berlangsung di luar diri. Namun sering kali kita abaikan bahwa sesungguhnya penderitaaan bisa jadi kenyataan yang nyata bagi beberapa orang, dan bukan lagi perihal pikiran negatif belaka.Â