Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Pemulung Ilmu

Pemulung ilmu yang punya hobi menulis, berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan. Pernah belajar Psikologi dan Administrasi Bisnis waktu di Kampus, dan saat ini berupaya menemukan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupan nyata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Tumpukan Indikator: Ketika Reformasi Birokrasi Jadi Ritual Administrasi

19 Mei 2025   17:10 Diperbarui: 19 Mei 2025   17:10 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tengah upaya transformasi birokrasi menuju tatanan yang bersih, efektif, dan berdampak melalui reformasi birokrasi, hadir satu pertanyaan menggelitik yang menggantung di kepala banyak pelaksana reformasi birokrasi: Apakah semua indikator yang harus kami penuhi benar-benar membawa perubahan, atau hanya memperpanjang deret kewajiban administratif? PermenPANRB No. 9 Tahun 2023 tentang Evaluasi Reformasi Birokrasi, yang mengusung jargon "RB Berdampak", justru membuka ruang diskusi baru: apakah kompleksitas indikator ini sejalan dengan prinsip manajemen mutu yang efisien dan terintegrasi? dan apakah dengan memenuhi indikator-indikator itu benar-benar terasa dampak perubahannya?

Reformasi Birokrasi dan Tumpukan Indikator

Dalam pedoman evaluasi terbaru tersebut, terdapat puluhan indikator yang harus dipenuhi oleh kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Sebut saja: tingkat maturitas SPIP, nilai SAKIP, indeks SPBE, indeks pelayanan publik, indeks kualitas kebijakan, indeks merit ASN, hingga transformasi digital dan keberhasilan pembangunan zona integritas. Masing-masing diukur oleh lembaga yang berbeda, dengan format pelaporan tersendiri, dan, yang paling melelahkan, kewajiban mengumpulkan dokumen, data dukung, dan penjelasan berulang kali.

Alih-alih menyederhanakan dan memfokuskan energi birokrasi untuk melayani publik, pelaksanaan reformasi birokrasi dengan evaluasi RB yang jelimet saat ini terasa seperti ritual administratif tahunan yang tiada habisnya. Masing-masing instansi pemilik indikator akan bergantian datang ke setiap kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk mengevaluasi indikatornya, dan mayoritas berujung pada penyiapan data dukung administratif yang menguras energi para birokrat negeri. Akhirnya instansi habis waktu dan energi untuk melayani asesor, auditor, tim penilai, atau apapun itu bentuknya. Output-nya sering kali berupa laporan tebal, berkas banyak, dashboard warna-warni, dan nilai indeks yang tak selalu mencerminkan realitas kualitas layanan di lapangan.

Sudut Pandang Sistem Manajemen Mutu Terintegrasi (Integrated Management System / IMS)

Dalam dunia manajemen mutu, dikenal prinsip integrated management system (IMS), yang menggabungkan berbagai standar seperti ISO 9001 (manajemen mutu), ISO 37001 (anti-penyuapan), ISO 31000 (manajemen risiko), dan SPIP ke dalam satu sistem yang harmonis. Prinsipnya sederhana: satu sistem, banyak manfaat, tanpa duplikasi. Sayangnya, semangat IMS belum tercermin dalam evaluasi RB berdampak. Banyak indikator terindikasi saling tumpang tindih: SPIP dinilai secara terpisah, padahal prinsipnya juga termuat dalam ISO 31000. Evaluasi sistem merit ASN tumpang tindih dengan manajemen SDM dalam ISO 30414. Indeks pelayanan publik dinilai oleh KemenPANRB, sementara kepatuhan standar pelayanan publik oleh Ombudsman, namun dua-duanya mengukur hal yang sama. Belum nanti evaluasi oleh Komisi Informasi Pusat. Pertanyaannya, apakah rakyat puas? entahlah.

Ironisnya, organisasi yang sudah bersertifikat ISO 9001 atau ISO 37001 pun tidak mendapat pengakuan otomatis dalam RB. Atau hasil evaluasi atas sertifikat ISO tersebut tidak secara otomatis menggantikan berbagai indikator antara RB yang tertuang dalam PermenPANRB No. 9 Tahun 2023. Padahal, sistem audit ISO tidak kalah ketat, berbasis bukti, dan berorientasi perbaikan berkelanjutan (continual improvement), prinsip yang juga menjadi nyawa reformasi birokrasi.

Dilema: Kepatuhan vs Dampak

Fenomena ini memperkuat tesis klasik dalam teori institusional, khususnya isomorphism yang dikemukakan DiMaggio dan Powell (1983), bahwa organisasi cenderung membentuk struktur dan proses untuk terlihat sah secara formal (legitimasi), meski belum tentu menghasilkan dampak substantif. Dalam konteks RB, ini terjadi ketika instansi lebih sibuk menyiapkan dokumen bukti evaluasi dibanding memperbaiki sistem layanannya. Evaluasi menjadi ritual tahunan, yang orientasinya beralih dari "apa dampaknya bagi masyarakat" menjadi "apa yang harus saya unggah ke sistem sebelum tenggat waktu."

Jika benar RB ingin berdampak, maka beban indikator harus ditata ulang. Beberapa rekomendasi yang layak dipertimbangkan:

  1. Integrasi indikator RB dengan sistem mutu yang sudah diakui secara internasional, seperti ISO 9001, ISO 37001, dan ISO 31000. Audit mutu eksternal dapat digunakan sebagai validasi atas indikator tertentu. Integrasi juga perlu dilakukan antar indikator RB itu sendiri, menghindari duplikasi dan konsumsi energi birokrasi.
  2. Sinkronisasi penilaian SPIP, SAKIP, dan indeks pelayanan publik dalam satu platform evaluasi berbasis proses dan risiko. Selain itu juga sinkronisasi penilaian indikator lain yang masih sejalan.
  3. Penggunaan pendekatan outcome-based, bukan checklist-based. Evaluasi harus fokus pada perubahan nyata: kecepatan layanan meningkat, kepuasan publik membaik, integritas ASN menguat.
  4. Audit evaluasi atas sistem evaluasi itu sendiri. Ini penting untuk menjawab: berapa besar waktu, biaya, dan SDM yang dihabiskan untuk memenuhi semua indikator, dan apakah hasilnya sepadan dengan energi yang dikeluarkan.

Evaluasi bukan untuk sekadar dinilai, tetapi untuk memperbaiki. Jika reformasi birokrasi ingin berdampak, maka ritual administrasi yang berlapis dan saling tumpang tindih harus dikurangi. Pemerintah tidak sedang kekurangan sistem, tapi kekurangan integrasi dan sinkronisasi. Mari kita perbaiki bukan dengan menambah sistem baru, tetapi dengan menyederhanakan dan mengintegrasikan yang sudah ada. Karena pada akhirnya, publik tidak peduli pada indeks. Mereka peduli apakah layanan pemerintah hadir dengan cepat, adil, dan bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun