Mohon tunggu...
Tebe Tebe
Tebe Tebe Mohon Tunggu... lainnya -

"Hidup itu....Tuhan yang menentukan. Kita yang menjalaninya. Dan orang lain yang mengomentari (kepo)." (tebe)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ketika Karya (Cerpen) Hanya Dinilai Saat Dimuatnya di Kompas

22 September 2012   03:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

SIAPA YANG TIDAK INGIN cerpennya dimuat di harian umum surat kabar. Atau, alias koran bernama Kompas? Tentu semua sangat ingin sekali bukan. Toh, saya pun demikian dengan sangat ingin cerpen saya masuk di koran tersebut.

Karena apa?

Ya, ini menurut segelintiran omongan sesama penulis mengatakan seperti demikian di bawah ini;

Belum dikatakan penulis kalau karyanya (cerpen) tidak bisa menembus harian berskala nasional yang sangat banyak dinikmati rakyat di seluruh nusantara. Alias, koran Kompas.

Begitulah yang ada! Banyak diantara penulis-penulis kita di tanah air ini begitu antusiasnya dan berapi-apinya ingin sekali karyanya (cerpen) bisa dimuat di Koran Kompas edisi Minggu. Toh, saya pun juga demikian!

Menginginkannya pula sebagai penulis karyanya (cerpen) dipublish di koran itu. Lagi pula tidak ada yang melarangnyakan? Asal jangan sesama penulis saling menjatuhkan mental dan menghina tulisan penulis lainnya. Itu yang benar-benar penulis yang tidak punya etika. Menganggap dirinya yang sok paling dia saja penulis paling hebat dan sok jago Tapi bagi saya itu tergantung dari personality-nya.

Halnya saya teringat dengan salah satu kutipan sebuah cerpen yang sangat saya ingat benar ketika saya membacanya saat itu hingga sekarang. Kebetulan penulis itu kelahiran Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Dialah penulis muda yang banyak menghasilkan prestasi. Tak lain seorang Benny Arnas. Dan inilah kutipan yang saya ingat benar dari narasi yang dituliskan di cerpennya itu.

Bila kau menjadi pengarang, jadilah pengarang yang santun. Kau tak usah ikut-ikutan pengarang yang banyak bicara. Lain yang ditulis, lain pula tindak tanduknya.Yang kerjanya menghina karangan orang. Yang kerjanya menghardik pengarang lain.(Anak Ibuku—Benny Arnas)

Nah, kalau sudah begitu apakah kita sesama penulis saling menghujat dan merendahkan penulis lainnya? Hmm, lagi-lagi saya katakan itu tergantung dari personality-nya. Lagi pula asal jangan mengusik semangat (ghirah) saya dalam menulis. Ibarat orang Betawi bilang,” Lo jual gue yang beli.” Dan “Lo Senggol gue bacok!” Bereskan? Tidak usah banyak bacot atau beradu argumentasi kalau hanya jadi debat basi. Pun ada pepatah jadul juga yang mengatakan,” Menang jadi arang kalah jadi abu.” Kalah masuk kubur menang masuk penjara. Tuntaskan!

Tapi tidak sebegitu ekstremnya bukan! Masa sih hanya persoalan kwalitas sebuah karya (cerpen) saling menumpahkan darah. Lebay, sekali bukan? Saya harap hal itu tak pernah terjadi. Kalau pun ada lakukan dengan cara bijak bukan ”menjajah” sampai si penulis itu jadi merasa tak punya mental baja. Lagi-lagi saya harap hal itu tidak demikian.

Memang harian umum surat kabar atau koran bernama Kompas menjadi primadona bagi seorang penulis, esais, penyair, sastrawan dan budayawan untuk bisa mengempakan sayapnya agar lebih eksis dan terkenal lagi. Maklumlah peminat Kompas Minggu banyak yang ditunggu-tunggu olehpara penikmat dan pecinta sastra terlebih ruang rubrik SENI (Cerpen Kompas Minggu). Banyak sekali peminatnya. Saya pun begitu sangat menantikannya!

Bayangkan saja dalam setahun ada 2.400 karya (cerpen) yang dikirm oleh 1.800 penulis. Dalam setahun, Kompas hanya bisa memuat maksimal 52 cerpen karena cuma terbit di Hari Minggu. Artinya, hanya 2,1 persen dari 2.400 cerpen yang masuk. Bayangkan ketatnya. Sekedar ulangan, setiap bulan rata-rata Kompas menerima kiriman 200 buah cerpen atau 2.400 dalam setahun seluruh karya yang masuk. Sungguh benar-benar sebuah tantangan bagi penulis bukan ketika mengetahuinya?

Tapi apakah tidak sebegitu piciknya jika menilia sebuah karya (cerpen) hanya dari dimuat pada sebuah media surat kabar raksasa sekelas koran Kompas?Entahlah, itu semua kembali tergantung dari persepsi dan cara penilaian masing-masing induvidunya sebagai seorang penulis. Apakah bijak menilai sebuah karya (cerpen) hanya dari penulis itu bisa meloloskan karyanya (cerpen) di koran Kompas.? Entahlah.

Tapi saran saya jika semangat (ghirah) menulis Anda sebagai penulis masih ada dan kebal akan kritikan yang meng-down-kan Anda nanti. Itu sudah termasuk bekal dan kunci sukses Anda nanti jika suatu saat bisa menaklukan koran Kompas dengan karya (cerpen) Anda. Selamat mencoba.[]

Uray, 14/ September Ceria 2012

Catatan:

Tunggu sambungannya Tips Cara Mudah Mengirimkan Cerpen ke Harian Umum Kompas. Tunggu saja tanggal mainnya. Terima kasih.[]

*Zubeir el-Awwabi, tulisannya sudah dipublish di Majalah Annida dan Annida Online, Majalah Sabili, Majalah Al-Mujtama, Majalah Cahaya Nabawiy, Majalah Tarbawi, Majalah HIKAYAH (almarhum), Majalah Anak Aku Anak Saleh, Majalah Anak Adzkia, Majalah Anak Berdi, Koran Lampung Post (Cernak), Koran Seputar Indonesia (Sindo)  serta tulisan berbentuk Citizen Jurnalism beberapa kali dipublish di Republika Minggu.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun