Mohon tunggu...
Tebe Tebe
Tebe Tebe Mohon Tunggu... lainnya -

"Hidup itu....Tuhan yang menentukan. Kita yang menjalaninya. Dan orang lain yang mengomentari (kepo)." (tebe)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Pagi Ini Tak Mampu Membasahi Tanah Kami

12 Januari 2014   13:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan Pagi Ini Tak Mampu Membasahi Tanah Kami

[caption id="attachment_315332" align="aligncenter" width="477" caption="ilustrasi : kompas.com"][/caption]

Tangan lelaki itu makin mengeras. Berkempal. Tampak urat-urat kerasnya kehidupan jelas terlihat mewarnai legamnya tangan itu. Seakan-akan seperti orang mendendam kesumat pada seseorang. Ingin membuat perhitungan dengan kepalan tangannya itu.

"Aduh, aduh, Pak! Sejak pagi masih di depan tivi. Ya, ndak bakal abis tho tivinya diliatin terus. Bapak ndak buka bengkel tho?"

Istrinya yang masih memakai daster bercorak kampungan itu, dipenuhi kembang-kembang dengan warna yang menyilaukan mata menganggu ke-masyuk-an lelaki itu menonton kotak ajaib. Lelaki itu tetap tidak menghiraukan suara perempuan-beranak  tiga itu. Ia masih di depan televisi dengan volume mengalahkan suara istrinya. Ia masih setia mendengarkan berita tentang penangkapan seorang ketua politisi partai yang dilempari telor di kantor penyelidik tindakan korupsi.

"Nanti saja tho, Bu! Lagi pula di luar sedang hujan. Bapak mau menuntaskan berita dulu. Memangnya kamu ndak tahu Bu kalau orang yang kamu agung-agungkan itu karena keberaniannya berucap. Jika korupsi seperak pun akan siap  digantung di Monas. Tetapi ini bukan seperak saja Bu tetapi milyaran! Ibu ndak tahu atau pura-pura ndak tahu, tho. Kalau orang itu korupsi milyaran rupiah."

Lelaki yang masih berusia kepala 4 itu memberitahukan istrinya kembali. Tetapi istrinya yang lebih muda dari usia lelaki itu masih sibuk. Ia masih mondar-mandiri dari kamar tidur, ruang tamu dan dapur mengambil uang untuk membeli bumbu dapur yang masih kurang itu. Dengan suara keras agar bisa mengalahkan volume layar kaca sejak tadi ditonton lelaki itu untuk memberitahukan.

"Ibu ndak mau mikirkan itu, Pak! Biarkan saja mereka yang korupsi. Lagi pula apa untungnya dengan kita. Mereka yang makan dengan keluarga-dan cucu mereka sendiri. Kenapa kita yang harus ribut. Bukankah Gusti Allah Maha Tahu jika orang makan hak orang lain harus menanggungnya nanti di sana. Toh, ternyata di dunia saja sudah terbuktikan  menerima ganjarannya, belum nanti kalau sudah mati."

Lelaki yang lebih tua dari raut wajahnya ketimbang usianya itu hanya menelan ludah saat istrinya berkata demkian. Padahal istrinya bukanlah perempuan yang pernah duduk di bangku kuliah apalagi sekolah tinggi. Tetapi ketika mendengarkan ucapan istrinya itu ia tidak percaya. Ucapan-ucapan itu persis ucapan orang-orang yang ia temui di bengkel motor. Usaha mandirinya sejak belum menyuting perempuan yang masih muda itu.

Ucapan itu persis yang dikatakan istrinya tadi secara spontan. Atau, jangan-jangan istrinya sudah lebih maju darinya? Entahlah.

"Tapikan itu orang yang kamu agung-agungkan karena janji-janjinya itu dulu." Lelaki itu tak mau mengalah. Ia ingin menyudutkan ucapan istrinya itu. Padahal ucapan itu dikatakan hanya spotan saja. Tetapi ia tidak mau kalah beradu debat dengan istrinya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun