Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Harian Kompas dan Perjumpaan dengan Sejumlah Makhluk Halus

30 Juni 2015   15:58 Diperbarui: 30 Juni 2015   15:58 6599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ketika menghadiri perayaan hari ulang tahun ke-50 Harian Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Minggu 28 Juni 2015 lalu, saya disindir oleh seorang rekan senior, "Saya nyari-nyari testimoni Pepih di Twitter soal HUT Kompas kok nggak nemu, ya?" Begitu katanya. Saya kemudian menjelaskan, sudah banyak sekali teman menyampaikan testimoni yang hebat-hebat tentang Harian Kompas, terlalu hiruk-pikuk jadinya. "Saya nanti saja membuat tulisan ringan di Kompasiana," kata saya.

Dan, inilah tulisan ringan yang saya maksud itu... 

Ada hal yang tidak mungkin saya lupakan jika bicara soal Harian Kompas, tempat di mana selama 25 tahun saya bekerja, yakni perjumpaan saya dengan sejumlah makhluk halus. Ah becanda... Masak saya percaya kepada hal yang begituan? Serius. Ini serius. Saya tidak bermaksud menulis catatan klenik berbau tahayul tentunya, sesuatu yang sangat dilarang di Harian Kompas. Tetapi, baiklah, soal ini saya ceritakan sambil lalu saja, sebab nggak penting-penting amat, bukan?

Akhir tahun 1989 saya membaca iklan di Harian Kompas saat saya sedang berlibur di kampung halaman, di sebuah sudut desa di Tasikmalaya. Iklan lowongan kerja yang cukup mencolok. Harian Kompas melalui iklan itu hendak merekrut calon wartawan, pustakawan, dan peneliti. Saya sedih membaca iklan itu. Sedih karena saya saat itu belum lulus kuliah S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, tinggal menyusun skripsi. Sedih, karena saya memang bercita-cita menjadi wartawan Kompas dan kesempatan rekrutmen tidak mungkin ada setiap tahun, mungkin harus menunggu 3-4 tahun lagi. Kesempatan jadi wartawan Kompas pun melayang dan harus saya kubur dalam-dalam.

Yang lebih menyedihkan lainnya saat itu, saya tidak bisa ikut melamar tes sebagai calon wartawan Harian Kompas karena saya belum mendapat ijazah S1. Ah, pilunya hati ini. "Ada kesempatan, tetapi sayang saya nggak bisa ikut testing," kata saya saat membaca iklan itu. Almarhum Ibu kemudian menanggapi, "Bukan waktunya barangkali, harus selesai dulu kuliahnya, nanti ada waktunya juga." Demikian Ibu yang menghendaki saya jadi dosen selepas lulus nanti. Bagi Ibu yang guru sekolah dasar, anaknya menjadi dosen adalah suatu kebanggaan. Sedangkan bagi saya, dosen kurang menarik minat dan perhatian, bukan saya tidak mau.

Meski demikian, hati sedikit terobati ketika melihat persayaratan untuk tenaga pustakawan di Pusat Informasi Kompas (PIK) pada iklan yang sama. Benar bahwa iklan itu menyebutkan syaratnya S1 Sarjana Perpustakaan, tetapi 'kan saat itu S1 Sarjana Perpustakaan baru ada di Fikom Unpad dan belum menghasilkan lulusan. Sayalah angkatan pertama untuk jurusan baru itu di Fikom Unpad dan baru ada satu teman yang menjadi sarjana 3,5 tahun, yaitu Musyarafah. Jadi dapat saya pastikan, selain dia belum ada lulusan S1 Sarjana Perpustakaan. Nah, di sini saya berpeluang melamar pekerjaan di Jakarta. Pokoknya asal masih bagian Harian Kompas nggak apa-apalah, pikir saya.

Tanpa sepengetahuan orangtua, sambil nyeruput kopi tubruk, saya mengeluarkan mesin tik "Brother" legendaris. Saya bikin surat lamaran untuk yang pertama kalinya! Saya tidak tahu bagaimana format dan gaya bahasanya, pokoknya asal menulis surat lamaran saja. Esoknya saya berangkat ke Bandung meminta transkrip nilai selama semester satu sampai delapan ke Fakultas sebagai lampiran. Tidak lupa saya lampirkan pula fotokopi beberapa cerpen dan artikel yang dimuat di majalah "Hai", "Bobo", "Gadis", "Suara Karya", "Suara Pembaruan" dan lain-lain. Ya, sekedar mengecoh penyortir surat lamaran saja bahwa saya bukan orang sembarangan hahaha.... 

Alamat yang tercantum bukan alamat rumah orangtua di Tasikmalaya, tetapi alamat kos-kosan saya di Haur Mekar B5 Bandung. Itu adalah "kandang merpati" (karena kamar berada di loteng dan terbuat dari kayu) tempat saya ngekos selama kurang lebih empat setengah tahun. Maksudnya biar mudah berkomunikasi karena saya akan lebih sering berada di Bandung tinimbang di kampung untuk menyelesaikan tugas akhir. Telepon? Belum akrab saat itu, bahkan hanya beberapa rumah saja yang memiliki fix telepon.

Saya bayangkan, alangkah senangnya bisa bergabung di koran yang didirikan PK Ojong dan Jakob Oetama itu. Kelak saya bisa berkenalan dengan para wartawan ternama seperti Parakitri T. Simbolon, Rudy Badil, GM Sudarta, AF Dwiyanta, J Widodo, Irving Noor, Sindhunata, JB Kristanto dan lain-lain, yang tulisannya hebat-hebat dan selalu menginspirasi itu. Saya juga mengagumi foto-foto karya Kartono Riyadi dan alangkah hebatnya kalau saya bisa bersua dengannya kelak di Kompas. 

Ajaib! Sebulan kemudian, saya mendapat panggilan testing di Jalan Palmerah Selatan, di Gedung Kompas-Gramedia. Sungguh saya tidak percaya dan kegembiraan ini saya sampaikan kepada orangtua. Bahkan almarhum ayah bersedia mengantarkan saya ke Jakarta pada testing pertama, secara saya tidak punya saudara dekat di ibukota. Saat testing pertama berlangsung, ternyata banyak sekali orang-orang yang "mengadu nasib" dan mereka rata-rata sudah pegang ijazah, meski mungkin bukan S1. Di luar dugaan, teman sekelas saya, Ria Purwiati, juga melamar di posisi yang sama; pustakawan. Waduh, saingan sama teman sendiri deh.

So, yang namanya pertama, pasti mendebarkan, apapun itu. Demikian juga testing pertama ini. Sungguh sangat menyiksa, padahal sekadar tes kemampuan saja, toh saya belum menyelesaikan skripsi, apalagi diwisuda. Diterima syukur, nggak diterima... kebangetan hahaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun