Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Badut

12 Februari 2015   02:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423660385492225615

[caption id="attachment_396282" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi, Anak-anak Bermain dengan Badut (kompas.com/Fikra Hidayat)"][/caption]

Semula ragu, tetapi kemudian tawaran itu tidak ia sia-siakan meski setelah merenung cukup lama. Tawaran datang saat Maknun hendak solat maghrib di langgar sebelah rumah kontrakannya. "Kau cuma butuh tenaga yang kuat untuk berdiri, juga menahan beban anak-anak yang biasanya ingin memanjat pundakmu. Tahan amarah kalau anak-anak menepuk kepalamu atau bahkan menampar mukamu. Selebihnya, kau tak harus malu karena tak seorang pun mengenalimu, bukan?" terang Suryawan, sahabat lamanya yang kebetulan bertemu kembali di Jakarta. Ia jatuh kasihan melihat ekonomi karib semasa hidup di kampung itu sedang terpuruk.

"Jadi aku harus berperan sebagai badut?"
"Menjadi, kukira, menjadi badut. Kau mau?"
"Malu aku, Wan!"
"Lebih malu kau dihina istrimu karena menganggur, malu sama anak-anakmu yang tahu bapak mereka tidak bisa memberi nafkah. Pilih mana?"
"Jadi kerjaanku cuma berdiri menahan beban, lalu goyang-goyang tubuh seperlunya biar anak-anak senang. Begitu?"
"Kurang lebih begitu."

Maknun diam. Boleh jadi memang ragu. Tetapi itu tadi, kata-kata "dihina istri karena menganggur" sangat mengganggu pikirannya. Suryawan benar, betapa selama beberapa bulan terakhir tatkala pemutusan kerja diterimanya setahun lalu, ia menjadi bahan hinaan istrinya, Saleha. Mencari pekerjaan tanpa ijazah memadai, susahnya bukan main, bahkan keringat mengalir dan tenaga kuat yang ditawarkan pun belum tentu diterima.

"Kau ini bukan seperti lelaki. Baru kena PHK segitu saja sudah putus asa. Kau bisa cari kerjaan, apapun, daripada tinggal diam di rumah kontrakan! Masak aku lagi yang harus cari duit buat makan?" Maknun teringat kembali kata-kata istrinya yang menyengat. Hampir setiap hari sengatan itu ia terima.
"Pak, sekolah minta bayaran enam bulan dibayarkan sekaligus, kalau tidak Ujang tidak bakal naik kelas," keluh si Sulung.
"Pak, kapan Meta dibeliin boneka Barbie?" rengek si Bungsu...
"Sudahlah, kau terima saja pekerjaan itu. Bagaimana?" Suryawan membuyarkan lamunannya.
"Emh.... baiklah. Kuterima."
"Nah, begitu. Bagus. Kutunggu besok di Plaza Bintaro, ya, temui aku. Jangan sampai telat, jam sembilan pagi."
Maknun mengangguk. Menyanggupi.

Demikianlah, atas kebaikan teman sekampungnya itu, Maknun bisa mendapat honor sebagai badut. Sebuah pekerjaan yang nyaris tanpa memerlukan keterampilan. Hanya berdiri menahan berat tubuh, sedikit menggoyang-goyangkan tubuh untuk menerbitkan kelucuan, selebihnya bisu tanpa harus berkata apa-apa. Cukup. Bayarannya pun harian, sedikit di atas upah minimum regional. Honornya sebagai badut lumayan juga buat makan sehari-hari secukupnya, meski hinaan dari istrinya tetap ia terima.

"Sebenarnya pekerjaanmu apa sih?" tanya istrinya suatu malam, saat dua anaknya sudah tidur. Si Sulung di bilik sebelah, sementara si bontot sudah terlelap di samping ibunya.
"Kamu tidak perlu tahu, yang penting pekerjaanku halal. Aku tak mungkin meracuni anak-istriku dengan uang haram."
"Aku curiga jangan-jangan kamu jadi pengamen di bus kota!"
"Suaraku sember, lagi pula aku tak bisa main alat musik kecuali tepuk tangan."
"Atau kamu jadi preman pemeras orang?"
"Apa aku ada potongan?"
"Lalu apa dong?"
"Nanti kuceritakan... tapi, aku 'mau' malam ini."
"Malas, ah, lagi nggak ada nafsu."
"Ini malam Jumat, kata orang sunah bagi suami-istri melakukannya."
Saleha membalikkan badan. Maknun hanya bisa menelan ludah.
**
Ini hari minggu. Maknun mendapat pesanan untuk berperan sebagai badut di Mal Pondok Indah, mal yang lebih besar dari Plaza Bintaro. Ia dijanjikan mendapat honor lima kali lipat dari yang diterimanya. Mungkin lebih, karena bakal ada tambahan waktu kerja sehingga honornya bertambah dan ada pameran besar mainan anak-anak di sana. Untuk itulah Maknun bersemangat bangun sepagi ini, siap menjadi badut, sebuah pekerjaan yang tidak terasa sudah ditekuninya selama dua bulan terakhir.

"Sulung, nanti kau bisa bayar uang sekolahmu ya, Nak. Dan kau adik manis, boneka Barbiemu mungkin sudah ada nanti malam!" demikian Maknun saat pamit.
"Benar ya, Pak? Jangan bohong lagi!"

Maknun angkat kaki.

Suasana mal begitu meriah, seakan-akan anak-anak dan orangtua dari seluruh penjuru kota datang serempak. Suasana menjadi hiruk pikuk. Satu hal yang menarik perhatian mereka adalah sosok badut raksasa yang menjulang tinggi, mencolok, badut berbentuk dinosaurus dengan ekor panjang dan tubuh besar. Kostum badut itu luar biasa beratnya, bahkan terasa menekan Maknun yang terbungkus di dalamnya. Mal itu berpendingin udara sempurna, tetapi di dalam balutan dinosaurus itu udara bukan main pengapnya. Panas dan seperti memeras peluhnya lebih deras.

Sekarang sudah hampir jam tiga petang, Maknun harus tetap menahan beban. Waktu istirahat belum juga tiba, padahal istirahat diperlukan untuk makan siang. Si juragan pemilik badut tadi berbisik, "Kau tahan untuk tidak makan siang dulu, tanggung... anak-anak lagi sedemikian senangnya." Dinosaurus itu mengangguk-angguk pedih, tetapi menerbitkan kelucuan tiada tara bagi anak-anak. Mereka tertawa. Ada yang ingin sekedar berfoto, ada pula yang ingin digendong di pundak. Bukan hanya satu anak, tetapi dua atau tiga anak sekaligus. Maknun sudah terengah-engah, matanya mulai berkunang-kunang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun