Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Be a Storyteller! (Part 1)

30 Juli 2020   12:17 Diperbarui: 30 Juli 2020   21:04 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menjadi pencerita yang baik. (sumber: pixabay.com/ Tumisu)

Belum ada kendaraan saat itu, Boncel pergi dengan berjalan kaki, mengandalkan jalan setapak dengan harapan jalan setapak itu bertemu jalan yang lebih besar, bertemu dengan jalan yang lebih besar lagi, sampai bertemu jalan raya.

Akhirnya, sampailah Si Boncel di Kandangwesi setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam lamanya. Ia langsung mencari di mana Sang Bupati berkantor. Tentu saja di depan pintu gerbang kabupatian, ia dicegat upas berwajah garang.

Si Boncel mengutarakan niatnya, tetapi upas malah menghardik, "Ini bukan tempat buatmu, kau tak pantas ada di sini, pakaianmu lusuh seperti bekas codot meludah, cepat kau pergi dari sini sebelum aku murka!"

Si Boncel yang lugu itu bergeming, ia tetap bersikukuh ingin menemui Bupati. Upas lainnya coba menengahi dan berbisik pada Si Upas garang. "Sebaiknya pertemukan saja anak ini dengan Tuan Bupati, jangan-jangan beliau sedang menguji kita melalui kehadiran anak kumal ini!" bisiknya.

Si Upas Garang keder juga. Akhirnya ia setengah mendorong Si Boncel agar lekas masuk halaman kabupatian. Di serambi, tampak Bupati sedang bercengkerama dengan anaknya yang ternyata sepantaran dengan Si Boncel.

Si Upas mengutarakan maksudnya, "Maafkan hamba, Tuan Bupati, ini ada anak kumal entah dari kampung mana bermaksud menemui Tuan, katanya hendak mencari pekerjaan di sini!"

Mata bupati langsung melirik anak kampung yang kepalanya tertunduk, bajunya lusuh dan perutnya keroncongan karena belum terisi nasi. "Apa yang bisa kau lakukan di sini?" tanya bupati sambil tangannya bersedekap di dada. Angkuh.

"Sahaya dengar Tuan Bupati punya banyak kuda peliharaan, sahaya bisa menyabit rumput untuk makanan kuda-kuda Tuan itu," jawab Si Boncel.

"Benarkah?" Bupati ragu, memperlihatkan senyum sinisnya.

"Ya, Tuan, pekerjaan sehari-hari sahaya 'ngarit', yaitu menyabit rumput untuk ternak kuda milik Pak Haji Gofur di kampung sahaya, Kandangwesi, nun jauh di sana."

"Karena kau sudah terbiasa mengurus kuda, baiklah... mulai sekarang kau bekerja sebagai tukang ngarit, urus kuda-kudaku, ya!" kata Bupati kemudian, "Ngomong-ngomong, apa namamu?"

The Series cerita kolaborasi Kompasiana.com dengan Netizen Story Menulis Biografi: Be a Storyteller Bersama Kang Pepih
HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun