Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Be a Storyteller! (Part 1)

30 Juli 2020   12:17 Diperbarui: 30 Juli 2020   21:04 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kamu bertanya siapa pendongeng paling ulung dalam sejarah hidup saya, jawabannya: almarhum ayah saya!

Saking hebatnya almarhum ayah bercerita di kala saya masih duduk di bangku sekolah dasar, manakala saya hendak beranjak tidur, saya dibuatnya terisal-isak!

Itu terjadi ketika almarhum ayah saya bercerita tentang "Malin Kundang" versi Sunda, "Dalem Boncel", namanya.

Kalau "Malin Kundang" hanya berupa legenda di mana anak yang durhaka kepada orangtuanya dikutuk menjadi batu, tidak demikian dengan "Dalem Boncel". Ia bukan sekadar legenda atau dongeng, melainkan biografi seseorang yang pernah hidup di di Garut, Jawa Barat (setting tempat) dan terjadi pada masa kolonial dulu (setting waktu).

Bayangkan, saya yang seharusnya beranjak tidur, menangis terisak-isak memikirkan nasib kedua orangtua Boncel yang ia usir sedemikian kejam, hanya karena malu kepada istrinya, saat kedua orangtua yang sudah renta itu menemui Boncel yang tidak pulang kembali ke kampungnya menemui orangtuanya.

Cerita dibuka ketika Si Boncel yang kala itu tidak bersekolah, kira-kira berusia 12 tahun, pamit kepada emak-bapaknya untuk mengembara ke kota Garut sekarang, yang konon diperintah oleh Bupati yang baik dan bijak.

Kedua orangtuanya tentu saja berkeberatan atas niat anak semata wayangnya itu, tetapi tekad Si Boncel sangat kuat untuk mengembara, meninggalkan Kandangwesi kampung halamannya.

Maka pada suatu pagi yang masih buta, Mak dan Pak Boncel melepas anaknya pergi dengan dibekali rebus ketela pohon dan lemper seadanya, diiringi do'a dan derai air mata.

"Hati-hati kau di kota, Ocen," pesan bapaknya.

"Segeralah kembali pulang manakala kau sudah berhasil jadi orang, Ocen," pesan emaknya kemudian.

Si Boncel pun pergi, masih diiringi tangis pilu Mak dan Pak Boncel.

The Series cerita kolaborasi Kompasiana.com dengan Netizen Story Menulis Biografi: Be a Storyteller Bersama Kang Pepih
HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun