Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Apa Makna "Lifetime Achievement" Kompasiana Buat Saya?

9 Desember 2018   08:42 Diperbarui: 9 Desember 2018   17:53 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : dokpri

Suatu pagi di awal tahun 2012, saya duduk berjejer di sebuah ruangan bersama dua rekan lainnya, Taufik H. Mihardja dan Edi Taslim. Di seberang meja duduk berjejer lima petinggi Harian Kompas. Di tangan mereka inilah kendali redaksional koran terbesar di Tanah Air ini berada. 

Mereka kolega saya juga, tetapi saat itu berbeda peran, juga berbeda nasib. Mereka menjadi hakim tanpa senyum dan tanpa palu di tangan, sementara saya dan dua rekan saya menjadi pesakitan.

"Keputusan apakah Kompasiana ditutup atau diteruskan akan ditentukan siang ini," kata seorang petinggi memecah keheningan ruangan yang sesekali ditingkahi desis Commuter Line yang berangkat dari Stasiun Palmerah ke arah Serpong. "Pemimpin perusahaan sekarang sedang berbicara dengan CEO, kamu tunggu saja!"

Kata "kamu" itu jelas ditujukan buat saya sebagai orang yang menggawangi Kompasiana, sekaligus menunjukkan sayalah strata paling rendah di ruangan itu. 

Sebelumnya kami bertiga, saya, Taufik dan Mas Edi sudah sepakat; jangan bicara apapun, membantah, apalagi menjelaskan. "Terserah mereka sajalah," pesan Taufik sebelum masuk "ruang sidang". Saya tersenyum kecut, kata "kita" dan "mereka" mendadak jadi tembok pembatas.

Taufik adalah atasan langsung saya saat itu di Kompas.com, juga Mas Edi Taslim yang pegang bisnis. Tetapi jiwa saya aslinya memang pemberontak, berbeda dengan Taufik yang "cool" dalam segala situasi. Kalaupun ada rasa kesal, itulah kekesalan saya pada almarhum yang melarang saya bicara. Padahal, saya ingin menghamburkan kata-kata juga sebelum Kompasiana benar-benar ditutup selamanya!

Demikian kilasan peristiwa yang melintas dalam pikiran saat saya menerima penghargaan "Lifetime Achievement" Kompasiana yang diserahkan Bos Bisnis KG Andy Budiman di acara Kompasianival ke-8, Sabtu 8 Desember 2018 di Jakarta. 

Suasana "sidang" di sebuah ruangan "angker" di Kantor Redaksi Harian Kompas mengisi salah satu sudut ruang pikiran saya. Terbayang almarhum yang berambut putih dan "cool" dalam bersikap, terbayang juga Mas Edi yang pendiam di depan "para dewa" Redaksi. Sementara saya mendongkol karena dilarang bicara apapun.

Jadi kami bertiga dipanggil sekadar dikabari bahwa keputusan Kompasiana ditutup selamanya atau masih diperbolehkan hidup akan diambil siang ini. Setelah itu bubar, tanpa salaman. 

Saya bayangkan CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo dan Pemimpin Perusahaan Harian Kompas sedang bercakap-cakap di Lantai 6, lantainya "para dewa" KG, mengenai jalan terbaik bagaimana menutup Kompasiana agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Tetapi saya punya keyakinan -karenanya tenang-tenang saja- Kompasiana tidak akan ditutup. Kenapa? Sebab beberapa pekan sebelumnya saya dalam satu kesempatan ada bersama dua anak biologis pendiri Harian Kompas Jakob Oetama, yaitu Mas Irwan dan Mas Liliek. Dengan berbinar-binar Mas Irwan mengabarkan bahwa ada investor Amerika yang berminat membeli Kompasiana dengan harga "Ratusan M" (Mas Irwan menyebut angka). 

Artinya, Kompasiana sudah sedemikian berharganya, sudah bernilai. Di mata yang punya induk perusahaan KG.

Mestinya ketika Kompasiana mau ditutup itu, Mas Irwan atau Mas Liliek berdiskusi dengan CEO Agung Adiprasetyo. Bagaimana Kompasiana yang sudah bernilai "Ratusan M" saat itu mau diberangus begitu saja? Kalau itu terjadi, bena-benar sebuah kesalahan yang lucu!

Maka saat tiba makan siang. Saat datang rehat ngopi petang. Juga saat waktu berganti malam, saya tetap duduk di kantor Kompasiana di Palmerah Barat, mengerjakan apa saja yang bisa saya kerjakan. Saya tidak akan pulang sebelum vonis itu dijatuhkan. Dengan satu keyakinan, "Gila aja kalau sampai Kompasiana ditutup!"

Kemudian saya putuskan pulang ke rumah sebelum tanggal berganti. Benar, Kompasiana terhindar dari vonis mati....

Sekarang, saudara-saudara semua, para Kompasianer, tinggal enak-enaknya menikmati Kompasiana dengan segala keunikannya! 

Mau menulis okay, mau sekadar ngasih komen dan rating gampang, mau menanggapi komen bisa, mau menanggapi artikel dengan artikel juga tidak dilarang. Padahal, saat saya mengelola Kompasiana dari mulai lahir sampai saya meninggalkannya dua tahun lalu, Kompasiana kerap berada di "ujung tanduk". 

Tanduknya siapa? Ya tanduknya para petinggi Harian Kompas itulah!

Apa yang membuat saya sering menjadi pesakitan dalam berbagai kesempatan? Kerap menjadi bulan-bulanan rapat redaksi yang digelar tiap hari Rabu? Karena Kompasiana yang saya asuh itu men-"disrupt" Harian Kompas dalam makna yang sebenarnya; merusak! 

Merusak reputasi Harian Kompas, merusak "kesucian koran". Juga kerap "menempeleng" para petingginya di forum-forum tertentu saat sebagian orang mempertanyakan Kompasiana yang melenceng dari kaidah dan pakem jurnalistik. Ya jelas melenceng wong Kompasiana bukan produk jurnalistik hehehe...

Apanya yang merusak dari Kompasiana? Tidak lain opini, artikel atau berita yang ditulis warga biasa!

Dalam sebuah rapat "Reboan", seorang redaktur muda, junior saya jauh, bahkan langsung imperatif "Kompasiana tutup saja!" saat sebuah artikel yang ditayangkannya mengguncang publik, menjadi pembicaraan hangat. Bayangkan, sebuah artikel yang mengguncang seisi Palmerah juga.

"Drama" Kompasiana yang mau ditutup Si Redaktur Muda itu sempat saya ungkapkan dalam mukadimah buku "Kompasiana; Etalase Warga Biasa" yang juga menyisakan cerita tersendiri. 

Draft buku saya serahkan kepada Penerbit Buku Kompas (PBK). Karena saya jurnalis Harian Kompas maka secara etis menawarkan naskah buku ke PBK. Naskah buku tentu saja diperiksa tiga orang selevel Redaktur Pelaksana. Tidak lama kemudian penerbit memberi tahu kalau buku itu tidak bisa diterbitkan PBK karena dalam "preambule"-nya terindikasi membocorkan rahasia dapur Kompas.

Itulah satu-satunya naskah buku yang ditolak PBK. Naskah buku kemudian saya tawarkan ke penerbit lain di lingkungan KG, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan... lolos sensor. "Drama" itu tetap ada hahaha... 

Kata-kata "Disrupt" muncul lagi tadi malam saat Andy Budiman berpidato mengenai visi misi bisnis KG ke depan, khususnya mengenai keberadaan Kompasiana. Katanya, Harian Kompas juga sekarang sudah menyediakan diri untuk rela "dirusak" oleh keberadaan Kompasiana yang memang sangat "disruptive". Tentu saja "disruptive" di sini harus diterjemahkan sebagai "keniscayaan".

Saya yakin, seiring waktu berjalan dan di usianya yang sudah jalan ke-10, Kompasiana sudah semakin bisa diterima di lingkungan KG sendiri, khususnya di mata Redaksi Harian Kompas yang "kesuciannya" sering tercemari oleh tulisan-tulisan warga yang kerap menyedot perhatian publik secara nasional.

Bagi saya, ketika satu artikel Kompasiana -meski bukan produk jurnalistik- mengguncang kesadaran massa di mana publik sama-sama bereaksi dengan berbagai argumentasi dan ekspresi, sebenarnya itulah "lonceng kematian" bagi berita-berita media mainstream yang ditulis jurnalis profesional. 

Maknanya, Kompasiana diperbincangkan banyak orang. Kompasiana berdampak. Dampak atau "Impact" seharusnya menjadi kekayaan tak ternilai sebuah institusi media arus utama.

Adalah kematian yang sesungguhnya ketika berita-berita media arus utama tidak berdampak sama sekali di mata publik!

Saya meyakini, rekan-rekan saya di Redaksi Harian Kompas juga sudah mau berubah menghadapi tantangan media ke depan di mana muncul tantangan baru dengan hadirnya media sosial yang "nggemesin", blog-blog pribadi yang bereputasi, dan berbagai gaya penyampaian pesan lainnya yan benar-benar "disruptive" di banyak "homeless" media.

Slogan "berubah" yang dicanangkan KG ini sudah tepat, karena bisa jadi masih ada orang-orang redaksi dengan semangat masa lalu yang masih tersisa, dengan pikiran yang tidak berubah bahwa Harian Kompas adalah segala-galanya!

Prinsip "Harian Kompas adalah segala-galanya" memang tidak salah dan itu perlu dipegang awak KG, khususnya wartawan Kompas. Tetapi itu harus diletakkan dalam konteks bagaimana Harian Kompas tetap memelihara khalayak pembacanya, menerapkan prinsip jurnalisme yang baku, berimbang, dan selalu memegang etika dalam bekerja. 

Tetapi jangan sekali-kali diartikan "Harian Kompas adalah segala-galanya" sebagai yang paling top, yang paling hebat, yang lain minggir, keciiillll.... 

Bukan, bukan itu, Kawan! 

Kalian cukup "merendahkan hati" agar lebih adaptif menerima keniscayaan zaman yang berubah dengan cepat ini.

Salam....

***

Bintaro, 9 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun