Putra pasangan Ray Sahetapy dan Dewi Yul ini ternyata generasi kelima tokoh pers ternama Tirto Adhi Soerjo. Bisu dan tuli, tetapi Surya sangat komunikatif.
Pengakuan bahwa dirinya merupakan keturunan kelima tokoh pers dan kebangkitan nasional Raden Mas Djokosomono Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) cukup mengejutkan di saat dia menyela penjelasan saya. Si penyela tanpa kata-kata terucap itu bernama Panji Surya Putra. Nama panggilannya Surya. Anda mungkin masih belum paham sosok lelaki "good looking" ini kalau belum menyebut nama Ray Sahetapy dan Dewi Yul. Surya adalah salah satu anak dari pasangan pesohor ini.
Mengapa Surya menyela pemaparan saya tanpa kata-kata terucap? Ya, karena dia bisu. Bagaimana Surya bisa memahami seluruh pemaparan saya di depan forum padahal dia juga tuli? Melalui penerjEmah bahasa isyarat! Di meja Surya ada Sylva dan Mada, dua penerjemah bahasa isyarat yang terus bekerja menerjemahkan paparan saya.
Di meja yang sama, ada Ricendy Januardo (Cendi) dan Mukhanif Yasin Yusuf (Hanif), juga bisu dan tuli. Cendi hampir sama dengan Surya yang berkomunikasi lewat bahasa isyarat, sedang Hanif yang kini menuntut ilmu Strata 2 UGM difabel tuli dan gagu, tetapi masih bisa bicara meski terbata-bata.
Jika Surya dan Cendi menggunakan Sylva dan Mada selaku penerjemah bahasa isyarat, Hanif menggunakan bantuan juru ketik "Gundala" bernama Adhi yang mengetik semua ucapan secepat Gundala berlari. Semua ucapan saya ditranskrip dalam sebuah laptop tanpa melihat lagi papan ketik dan Hanif membaca hasil ketikan Adhi secepat saya bicara, nyaris tanpa jeda waktu.
Baca Juga: Â Benarkah Wakil Gubernur Jawa Barat di Pilgub 2018 Jatahnya Santri?
Pemateri lain selain saya adalah Prof Michele Ford yang sangat fasih berbahasa Indonesia sehingga Anda akan mengira dia orang Indonesia kalau tidak melihat sosoknya, juga Imogen "Imi" Champagne yang membawakan materi  bercerita melalui media sosial. Imi yang sempat belajar bahasa di UGM ini masih sangat belia tetapi sudah berani berbicara dalam bahasa Indonesia saat menyampaikan materinya.
Tiga dari 22 peserta itu bertugas sebagai pendamping saat ke-19 difabel berkunjung ke Sydney, Australia, selama dua minggu dan peserta dikenalkan pada salah satu kota inklusi terbaik di dunia yang ramah kepada disabilitas seperti rambu-rambu lalu-lintas bersuara, trotoar berhuruf braille, dan jalan khusus untuk pengguna kursi roda.
Selama di Sydney, peserta dilepas sendiri, dibiarkan untuk survive mengatasi semua kendala dan berhasil.
Sebagai pemateri, saya senang jika peserta memotong paparan saya, pertanda ia mengikuti arah pembicaraan. Ketika itu saat membawakan materi penulisan "storytelling", saya menjelaskan perjuangan saya membaca buku Bumi Manusia dan tiga buku lainnya yang menjadi "tetralogi" paling meleganda.