Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Di Tiongkok, Tak Perlu Mati Gaya apalagi Mati Kutu

7 Oktober 2017   19:44 Diperbarui: 8 Oktober 2017   08:28 4033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang pamer teknologi ICT Huawei di Shenzhen (Foto: Pepih Nugraha)

Jika Whatsapp merajai dunia, di Tiongkok aplikasi percakapan yang kini dimiliki Facebook itu mati kutu. Sebab, yang berjaya adalah Wechat. Uniknya, selain Alipay milik Jack Ma "Alibaba", Wechat sudah menjadi alat pembayaran sendiri yang populer di Tiongkok, menyisihkan uang lembaran Yuan (apalagi recehan) dari dompet. Alat pembayaran cukup menggunakan ponsel yang selalu tersambung ke Internet, bahkan sekadar membeli permen atau eskrim.

Tidak ada Youtube, ada Youku. Google mati tapi Baidu nyala terus. Twitter berhenti berkicau, Weibo berisiknya minta ampun. Dan, QZone menggantikan Facebook yang hiruk-pikuk. Jadi bagi warga Tiongkok sendiri, tidak ada alasan untuk mati gaya di negeri sendiri, apalagi mati kutu.

Bagi pendatang baru atau warga asing seperti saya yang menginjakkan kaki di Tiongkok, haruslah melampaui prakondisi terlebih dahulu khususnya terkait alat komunikasi yang dibawa. Ini pengalaman kedua saya di Tiongkok di mana tiga tahun sebelumnya saya melintas Shanghai-Shenzhen. Tentu saja dengan bantuan Yunny Christine, Deputy Director Public Affairs and Communications Department Huawei Indonesia, yang memberi fasilitas berupa produk ponsel terbaru P10 (baca Pi-Ten) plus akses Internet untuk seluruh daratan Tiongkok, saya tidak pernah mati gaya, apalagi mati kutu.

Danur Ilham Khoiruman, mahasiswa ITS lainnya, bertanya dengan aroma filsafat yang pekat, yakni nilai-nilai kearifan Tiongkok yang bisa dibawa ke Indonesia. Dubes Soegeng Rahardjo mengutip empat nilai Tiongkok yang cocok bagi generasi muda Indonesia, yakni disiplin dalam berbagai bentuk, komitmen yang tinggi untuk meraih masa depan, bekerja keras dan menabung uang untuk kehidupan masa mendatang.

Jangan terlalu banyak bertanya kepada orang lain, tanyalah dirimu sendiri dan buatlah yang pertama-tama untuk dirimu, kata Soegeng menjawab pertanyaan Danur. Di Tiongkok ini, semua orang menabung untuk menjamin masa depan. "Jadi, jangan taruh masa depanmu kepada orang lain, tetapi ciptakan masa depanmu melalui usahamu," kata Soegeng.

Menjadi "Kiblat" ICT

Kembali mengikuti "pola pikir" Deng Xiaoping, "Bapak Pembangunan" yang membangun Tiongkok sedemikian pesat, negara ini rupanya tidak mau berdiam diri atau jalan di tempat dengan sistem ekonomi yang kaku, meniru sistem komunis mereka yang satu komando. Berkat Deng yang membuka kran ekonomi global, Tiongkok bukan lagi negara "antah berantah" yang berada di gugusan sebuah galaksi terasing dengan penduduk Alien di dalamnya, Tiongkok terbuka menerima investasi dan perdagangan luar bahkan politik dagang eskpansionis dijalankan dengan terstruktur dan cermat.

Terstruktur di sini mengikuti pola pencapaian dengan roadmap yang jelas, sedang cermat bermakna penuh kehati-hatian. Sampai saat ini sikap kehati-hatian itu dijalankan secara ketat meski terkesan paranoid seperti membendung Internet produk antara lain seperti Google, Twitter, Instagram, Whatsapp, Snapchat dan Facebook. Membendung bukan berarti berdiam diri. Rupanya filosofis di balik pemblokiran seluruh akses Internet sebagai "menjaga kepentingan negara", juga merangsang para pembuat aplikasi ICT dan digital Tiongkok menggeliat. Huawei salah satunya.

Dalam konteks ICT, saat Beijing atau Shanghai di bawah pelupuk mata saat hidung pesawat menukik di bandara, yang terkesan adalah kesenyapan sebuah negeri yang dulu sangat ditakuti siapapun karena kertetutupannya. Bandingannya sekarang mungkin Korea Utara, negeri yang masih tertutup kabut misterius. Andai saja Tiongkok masih tertutup seperti Korut dan tidak memiliki seorang Deng, mungkin nasibnya akan sama dengan negeri komunis di semenanjung Korea itu.

Namun lewat kebijakan ekonomi Deng di akhir tahun 1970-an yang menjungkirbalikkan sistem perekonomian Tiongkok sebelumnya dengan pertanian dan perdagangan sebagai tumpuan, tumbuhlah raksasa ICT Tiongkok seperti Great Dagon, Datang, ZTE dan Huawei yang bukan saja besar di negeri sendiri, tetapi ekspansi ke luar negeri dengan mendirikan sejumlah pabrik, kantor, dan riset tekologi berskala "gigantik". Padahal sebagaimana Huawei, produsen ICT itu baru dimulai di pertengan tahun 1980-an.

Selama ratusan dan bahkan ribuan tahun, Tiongkok hanya dikuasai oleh politisi, dinasti kerajaan dan pertanian sebagai sektor andalan. Pedagang, meski itu sebuah profesi, tidak dianggap penting dan bukan posisi yang terhormat, sebagaimana tergambar dalam buku Huawei Leadership, Culture and Connectivity karya Tian Tao.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun