Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Saya Hengkang dari Palmerah ke Kemang?

2 Januari 2017   22:53 Diperbarui: 4 Januari 2017   09:55 11849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. TransplantBuddies.com

Ada seorang teman yang memberi kiasan dengan tepat, sampai-sampai saya terhenyak, tertegun sesaat untuk mencerna kalimatnya yang sederhana, lalu dada seperti sesak sendiri, seakan-akan ada beban yang mengimpit. Dia mengibaratkan saya telah melahirkan anak bernama Kompasiana dan mengurusnya sampai delapan tahun. Namun kemudian, secara tidak terduga saya meninggalkan anak yang telah saya besarkan itu mulai 1 Januari 2017 ini.

Tentu saja usia itu relatif. Delapan tahun usia anak manusia berbeda dengan delapan tahun blog sosial Kompasiana. Delapan tahun anak manusia itu belumlah dewasa, masih kanak-kanak dan tidak mungkin saya tega meninggalkan anak yang masih membutuhkan pertolongan itu, anak yang masih sangat bergantung kepada orangtua. Berbeda dengan delapan tahun usia Kompasiana. Bagi saya, ia telah tumbuh menjadi "media sosial dewasa" dengan segenap keunikannya, dengan kehebatannya mempersatukan banyak penulis untuk menjalin persaudaraan. 

Saat saya berketetapan hati meninggalkan "anak" yang saya lahirkan dan besarkan, bukan tanpa alasan. Beban ada, tentu saja. Tetapi ketika saya cek performa bisnis Kompasiana, predikatnya "growth" dibanding tahun lalu. Kompasiana sudah secara mandiri bisa menghidupi SDM, supporting man power dari unit lain, menyewa AWS sebagai penyimpan data di awan yang mahal, dan belanja lainnya. Memang revenue yang dihasilkannya tidaklah besar dibanding Kompas.com atau bahkan Harian Kompas. Debulah, barangkali. Akan tetapi, performa "growth" dengan penanda biru itu sesuatu yang diidamkan unit-unit bisnis lain di lingkungan Kompas Gramedia. Dan, Kompasiana tetap menunjukkan pertumbuhan signifikan.

Demikian juga saat meninggalkan Kompasiana. Jabatan saya tergolong tinggi, COO Kompasiana, yang pada beberapa tahun silam saat Taufik Mihardja masih ada, bersama PSDM menjanjikan  akan mengubah satu huruf tengah COO menjadi CEO Kompasiana. Kenyataan itu tidak pernah terjadi meski saya bukanlah orang yang gila pangkat, mengejar status supaya terlihat gagah.  SDM punya penilaian sendiri dan secara performa saya belum pantas menuju ke sana. Saya bahkan risih sendiri dengan predikat COO yang melekat di depan nama saya, apalagi menyandang CEO. Wow!

Niat untuk selesai dari Harian Kompas sudah terbersit sejak dua tahun lalu saat usia memasuki 50. Bahkan istri saya "mengejek" niat saya itu sebagai main-main yang tidak mungkin saya lakukan. Bukan apa-apa, saya sudah tergolong nyaman dan mapan dengan gaji yang saya peroleh setiap bulannya. Sebab, meskipun saya mengerjakan Kompasiana, status saya tetaplah wartawan Kompas, bagian dari Redaksi Kompas, yang di kalangan KG sebagai unit kerja "idaman" dengan limpahan fasilitas yang di atas rata-rata. Akan tetpi ketika dua tahun kemudian saya menyatakan niat saya dua atau tiga bulan sebelum one month notice, tak urung istri saya kaget juga. "Sudah dipikir masak-masak?" katanya dengan nada tanya.

Wajar kalau istri bertanya seperti itu. Tidak jauh-jauh dari urusan keberlangsungan ngebulnya dapur. Tiga tahun sebelumnya istri yang juga resign dari Kompas, eh, sekarang malah saya ikut-ikutan pensiun. Dari mana saya bisa menghidupi keluarga setiap bulannya? Saat itu saya berpikir; saya bisa mengembangkan diri dalam bidang kepenulisan, mengajar ilmu menulis dan jurnalistik, dan menulis secara bebas di manapun saya suka. Sama sekali tidak terpikir untuk membuat bisnis rintisan seperti sekarang ini.

Tentu keputusan saya "hijrah" dari Palmerah ke Kemang, tempat di mana usaha rintisan saya berkantor, bukan didasari kekecewaan, ketidakadilan, kemarahan, dan energi negatif lainnya. Ibarat meloncat dari bibir sungai menuju titian kayu, saya sudah punya ancang-ancang dan memperthitungkannya dengan baik. Tidak serta merta begitu. Keputusan saya berhenti dan membangun pltaform baru bukan semata-mata karena uang atau materi. Kalau persoalan itu, sudah saja saya menunggu dengan tenang sampai delapan tahun berikutnya, sampai masa pensiun saya tiba. Lalu pulang ke kampung menikmati uang pensiun yang besarnya 75 persen dari gaji pokok terakhir. Nyaman, bukan?

Jujur, keputusan saya mendirikan platform web baru bersama teman-teman lebih karena suatu ihtiar atau upaya dalam melawan informasi hoax dan fitnah di media sosial yang sudah dianggap kebenaran. Selain itu, adanya keresahan yang bersemayam dalam diri saya di mana sekian ide, gagasan dan inovasi di kepala ternyata tidak bisa saya laksanakan di kelompok bisnis KG yang sudah di-branding-kan sebagai bisnis media itu. Di sisi lain, yang saya ingin bangun adalah sebuah produk yang BUKAN MEDIA, yakni sebuah platform web berbagi pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang sepenuhnya diserahkan kepada performa mesin. 

Berbicara mesin digital, saya harus memalingkan wajah kepada orang-orang IT sekaligus mengubah paradigma dari perusahaan media ke perusahaan digital. Di perusahaan digital, IT adalah tulang punggungnya yang berbeda dengan bisnis media di mana IT "hanyalah" berpredikat sebagai "supporting". Bahkan yang paling mengejutkan, anak-anak IT Kompas.com yang "dipinjam" oleh Kompasiana sebagai "supporting" menganggap penempatannya di Kompasiana sebagai KUTUKAN. Lemas lutut saya mendengarnya!

So, kenapa saya bicara terus-terang begini? Karena saya ingin memberi masukan yang baik buat raksasa bisnis bernama Kompas-Gramedia yang demikian melegenda dalam bisnis media itu. Kasarnya saya ingin mengatakan, bisnis media itu sudah memasuki "senjakala", apapun jenis medianya, bukan hanya media cetak. Tersebab, sekarang dan dalam waktu yang tidak lama lagi, semua informasi yang ada di koran cetak, online, elektronik (tv dan radio), sudah bisa dilihat di telapak tangan lewat ponsel masing-masing. Apa yang mereka lihat? Aplikasi! Sekali lagi APLIKASI! 

Bagaimana saya yang bukan siapa-siapa di perusahaan raksasa ini dengan gagah mengatakan, "Hai, Bro, please jadikanlah IT sebagai tulang punggung bisnismu jika kamu berniat memasuki bisnis digital!" Ah, siapa elo, Pep! Demikianlah kira-kira. Tetapi saya punya keyakinan, memasuki bisnis digital dengan hanya menempatkan IT sebagai "supporting" itu sebuah kesia-siaan. Jika masih mengandalkan kekuatan redaksi/admin sebagai ujung tombak, di kala setiap orang adalah media itu sendiri yang memproduksi kontennya sendiri-sendiri di media sosial, maka "senjakala" itu semakin merona di ufuk barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun