Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Kamu Nggak Sendirian

27 Mei 2015   09:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:33 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_420598" align="aligncenter" width="560" caption="Selagi reunian, saya sempatkan main catur, ditantang 5 Master Fikom "][/caption]

Kesempatan reuni selalu saya nantikan. Reuni apa pun. Dari sisi makna, “reuni” berarti bersatu kembali, berkumpul kembali. Apa yang terjadi saat Reuni Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad’85 di Situ Cileunca beberapa waktu lalu, bukan saja fisik yang berkumpul kembali, tetapi batin atau jiwa pun menjadi terjalin erat kembali. Di sini terbukti, manusia itu berwujud fisik dan jiwa yang menyatu sekaligus.

Apa yang saya pandang saat menyatu kembali di tengah hiruk-pikuk pertemuan, gerendengan, guyonan spontan, dan teriakan ajakan foto selfie, adalah kenyataan; gue masih ada, elo-elo pade juga masih ada, kita masih ada. Ada menjadi ada karena kita merasa yang lain tidak ada, itu kata Pak Poespoprodjo, dosen filsafat kami sewaktu kuliah. Saya sih berpendapat, ada karena merasa yang lain, yang tidak ada atau tidak ada di Situ Cileunca, tetap ada, minimal di hati para peserta reuni.

“Si Ini ke mana ya, kok nggak ikut?” atau “Si Itu kok nggak datang ke sini, ya?” Itu pertanyaan umum peserta yang hadir. Bagi saya, ini menandakan yang tidak ada pun ada, setidak-tidaknya ada dalam ingatan, pikiran, bayangan, atau apa pun namanya, para peserta reuni. Mereka, yang tidak ada itu, juga tetap dicari, dirindukan, dan dinantikan. Cinta. Manusia hidup tak lepas dari rasa itu, cinta dalam makna luas, sebagaimana Erich Fromm katakan dalam "The Art of Loving".

Mengembalikan kenangan masa lalu, tentu saja terjadi di antara 75 peserta reuni. Kenangan dan masa lalu itu rupanya punya kuncinya sendiri-sendiri. Sebanyak 75 hadirin dari 250 mahasiswa, it's not bad. Lumayanlah, cukup menunjukkan soliditas tinggi kendati 30 tahun sudah berlalu. Ada yang membuka kenangan perlahan-lahan, lalu terbayanglah aktivitas di kampus “kandang merpati” Sekeloa, terbayang indahnya kebersamaan di kost-kostan sempit saat diskusi ngalor-ngidul. Atau, mungkin juga kenangan masa pacaran brutal yang serasa masih kemarin terjadi, masih terasa basah hahaha.... (bukan saya itu mah).

Kita tidak pernah tahu, saya sendiri tidak pernah tahu kunci kenangan si A, si B, dan seterusnya, yang hadir di acara reunian itu, dan rasanya saya tidak perlu tahu. Biarlah kenangan itu hidup dalam ingatan masing-masing, terkunci karena orang lain tidak perlu mengetahuinya. Inilah saat-saat indah reunian. Saya lebih suka mengatakannya “silaturahmi”, sebab ia tidak pernah mengenal kata “re” (kembali). Silaturahmi bisa kapan saja, bisa setiap saat, dan dalam keyakinan vertikal saya, silaturahmi itu diwajibkan. Situ Cileunca hanyalah tempat definitif di mana janji reunian disepakati. Sejatinya, ada banyak tempat untuk menyimpan kenangan, ada banyak waktu kapan harus mengenang, apa dan siapa yang akan dikenang.

Panitia yang bekerja keras telah merancang acara ini jauh-jauh hari. Ketika keringat masih basah dan nafas masih belum teratur saat turun dari bus pun, perlombaan yang menantang nyali dan imaji, segera harus dihadapi. Bayangkan kami yang sudah sepuh (ah, kalian aja kali!), diminta membentuk kelompok. Satu kelompok lima orang dan kami diminta mendayung rakit ke tengah danau dengan hanya tiga dayung untuk mengambil balon sebanyak-banyaknya. Langsung menggugat nyali, merangsang adrenalin. Kami yang sudah menjadi "orang kota" dan terbiasa bermacet-macet di jalan raya, tiba-tiba harus meluncur di situ (danau) yang sangat luas hanya menggunakan perahu karet. Ah, siapa takut!

Persis seperti Tuhan, Allah, Batara, Syang Hyang, apa pun namanya, memberi kesempatan dan peluang hidup; kami harus mengakali bagaimana bisa memperoleh balon sebanyak-banyaknya dengan waktu sesingkat-singkatnya. Ini bukan melatih atau mengembangkan sifat kemaruk, tetapi berupaya menggugah kembali semangat bertarung masing-masing peserta dalam kelompok, sebab sejatinya hidup pun tidak lepas dari pertarungan nasib, bukan?

Jadi saya yakinkan kepada empat rekan lain setim (meski bukan pemimpin yang ditunjuk), bahwa “kita bisa” memenangkan kompetisi yang mengasyikkan ini. Dibimbing naluri masa kecil semasa hidup di kampung dan akrab dengan sungai berair deras, kami mulai mengatur strategi. Meski kami berada di urutan ketiga saat nyemplung di danau, toh dengan kebersamaan tim yang saya gerakkan (ededeh.... gayana ji') dari belakang sebagai kemudi, kami bisa mengumpulkan delapan balon dalam waktu singkat.

Balon terakhir kami dapatkan dengan cara benar-benar berkompetisi, karena tim lain juga menghendaki balon yang sama. Saya yakinkan bahwa “tim kita” bisa merebut balon berharga tanpa harus menyakiti lawan. Ajaib, balon terakhir kami dapatkan. Setelah menghitung dengan cermat bahwa tim lain tidak akan mampu meraih balon yang jumlahnya melebihi apa yang kami dapatkan, maka kami memutuskan untuk kembali agar waktu tercepat bisa kami pegang juga.

Bayangkan; predikat tercepat dan terbanyak mengumpulkan balon kami sandang, padahal kami baru saja dipertemukan dalam reunian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun